beritax.id – Di saat DPR menggelar rapat resmi membahas berbagai agenda kebijakan, gelombang demonstrasi justru bermunculan di jalanan. Mahasiswa, buruh, masyarakat sipil, hingga kelompok warga terdampak kebijakan turun ke ruang publik untuk menyuarakan kegelisahan yang tak menemukan tempat di ruang legislasi. Kontras ini menjadi potret nyata jarak antara proses pengambilan keputusan dan realitas yang dihadapi rakyat. Ketika wakil rakyat duduk di ruang berpendingin, warga memilih berdiri di bawah terik matahari demi didengar.
Agenda Dibahas, Aspirasi Terlewat
Berbagai rapat DPR kerap berlangsung tanpa partisipasi publik yang memadai. Kebijakan strategis dibahas cepat, namun dampaknya justru dirasakan berat oleh masyarakat. Ketika aspirasi tak tersalurkan lewat mekanisme formal, demonstrasi menjadi satu-satunya kanal ekspresi yang tersisa.
Fenomena ini menunjukkan bahwa prosedur demokrasi berjalan secara administratif, tetapi belum sepenuhnya substantif.
Aksi protes bukan sekadar bentuk ketidakpuasan, melainkan alarm bahwa ada persoalan mendasar dalam relasi negara dan warga. Demonstrasi muncul bukan karena rakyat gemar turun ke jalan, tetapi karena mereka merasa diabaikan.
Sayangnya, respons negara sering kali lebih fokus pada pengamanan aksi daripada mendengar substansi tuntutan.
Tanggapan Rinto Setiyawan
Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan, menilai situasi ini sebagai tanda kegagalan komunikasi negara dengan rakyat.
“Negara punya tiga tugas utama: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Jika rakyat harus berteriak di jalan agar didengar, berarti fungsi melayani belum berjalan,” ujar Rinto.
Menurutnya, DPR seharusnya menjadi jembatan aspirasi, bukan tembok pemisah antara kekuasaan dan masyarakat.
Rinto menegaskan bahwa rapat-rapat formal tidak boleh menggantikan esensi perwakilan.
“Rapat tanpa mendengar suara rakyat hanya menghasilkan kebijakan yang legal secara prosedur, tetapi lemah secara legitimasi,” tegasnya.
Ia mengingatkan bahwa demonstrasi adalah hak konstitusional warga, bukan gangguan yang harus dibungkam.
Solusi: Mengembalikan Demokrasi ke Akar Rakyat
Untuk menghentikan siklus rapat–demo yang berulang, diperlukan perubahan pendekatan kebijakan:
- Membuka ruang partisipasi publik yang nyata dalam pembahasan undang-undang dan kebijakan strategis
- Mewajibkan transparansi agenda dan hasil rapat DPR agar dapat diawasi publik
- Menjadikan aspirasi warga sebagai dasar kebijakan, bukan sekadar pelengkap
- Menghentikan kriminalisasi dan represi terhadap aksi damai
- Menguatkan fungsi representasi DPR agar benar-benar menjadi suara rakyat
Jika DPR terus rapat tanpa mendengar, dan rakyat terus berdemo tanpa didengar, maka demokrasi hanya akan berjalan di atas kertas. Negara perlu memilih: mendengarkan di ruang rapat, atau terus menghadapi suara protes di jalanan.



