beritax.id – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengungkap besarnya devisa negara yang hilang akibat impor bahan bakar minyak (BBM). Dalam paparannya di Indonesia International Sustainability Forum, Bahlil menyebut devisa yang hilang mencapai Rp776 triliun per tahun atau sekitar US$50 miliar.
Produksi minyak nasional hanya 212 juta barel per tahun, jauh di bawah impor 330 juta barel. Dari jumlah itu, 128 juta barel berupa minyak mentah dan 202 juta barel dalam bentuk BBM jadi.
“Ini tantangan besar karena setiap tahun devisa kita tersedot hanya untuk impor BBM,” ujar Bahlil.
Ia menjelaskan bahwa Indonesia kini harus mengimpor sekitar 1 juta barel minyak per hari, berbeda jauh dari kondisi tahun 1990-an saat Indonesia masih menjadi eksportir minyak dan anggota OPEC.
Pandangan Partai X: Negara Jangan Terjebak Ketergantungan Energi
Menanggapi hal itu, Anggota Majelis Tinggi Partai X Rinto Setiyawan menilai bahwa kebijakan impor BBM bukan solusi, melainkan beban struktural yang merugikan bangsa.
“Tugas negara itu tiga loh melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Kalau energi diserahkan ke impor, negara justru kehilangan kendali,” tegas Rinto.
Menurutnya, impor BBM tidak hanya menguras devisa, tapi juga menciptakan ketergantungan ekonomi dan risiko fiskal yang tinggi.
“Selama kita hanya jadi pembeli di pasar global, maka harga dan nasib energi nasional akan ditentukan negara lain,” ujarnya.
Rinto menilai pemerintah seharusnya menempatkan kemandirian energi sebagai prioritas utama, bukan sekadar menambal defisit produksi dengan impor jangka pendek.
Kritis: Impor BBM Adalah Simbol Gagalnya Hilirisasi
Partai X menilai persoalan defisit minyak bukan semata masalah teknis, tapi cermin dari lemahnya arah kebijakan energi nasional. Rinto menyebut, sejak puluhan tahun Indonesia bergantung pada ekspor bahan mentah dan impor produk jadi pola yang membuat bangsa tidak pernah berdaulat secara ekonomi.
“Kalau tambang kita dikeruk untuk ekspor, tapi BBM kita beli dari luar, di mana logika kemandirian?” sindirnya.
Impor BBM juga memperlebar jurang ketimpangan ekonomi. Harga energi yang tinggi membebani rakyat, sementara keuntungan dinikmati oleh korporasi global dan segelintir penguasa energi.
Solutif: Jalan Energi Berdaulat Menurut Partai X
Untuk keluar dari jebakan impor BBM, Partai X mengajukan lima langkah strategis:
- Bangun kilang nasional modern untuk mengolah minyak mentah dalam negeri agar tidak bergantung pada BBM impor.
- Percepat transisi ke energi baru dan terbarukan (EBT) tanpa mengorbankan kebutuhan rakyat.
- Perkuat BUMN energi agar menjadi penggerak produksi nasional, bukan sekadar operator kebijakan.
- Hentikan kontrak eksplorasi yang merugikan negara, dan dorong model kerja sama berbasis keadilan produksi.
- Bangun industri turunan migas di daerah penghasil agar manfaat ekonomi tidak hanya berhenti di pusat.
Rinto menegaskan, “Selama rakyat masih antre BBM dan negara masih impor, berarti kedaulatan energi belum tercapai.”
Penutup: Energi Harus Jadi Sumber Kekuatan, Bukan Ketergantungan
Partai X menilai bahwa energi adalah urat nadi bangsa. Bila dikuasai oleh impor dan rente, maka rakyat akan terus membayar harga mahal dari lemahnya kemandirian nasional.
“Devisa boleh besar, tapi kedaulatan jauh lebih berharga. Jangan biarkan energi rakyat tergadaikan oleh impor,” tutup Rinto.
Dengan semangat kritis, obyektif, dan solutif, Partai X menyerukan agar pemerintah berani menata ulang sistem energi nasional dari sekadar konsumsi menjadi produksi yang berdaulat untuk rakyat.