beritax.id – Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengungkapkan fakta mengejutkan bahwa dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) senilai Rp234 triliun masih mengendap di bank hingga kuartal III tahun 2025. Kondisi tersebut menunjukkan lambatnya realisasi belanja daerah yang berdampak langsung pada tersendatnya roda ekonomi di berbagai wilayah.
“Rendahnya serapan ini membuat simpanan uang pemerintah daerah menganggur di bank. Jadi bukan soal uang tidak ada, tapi kecepatan eksekusi yang rendah,” ujar Purbaya dalam rapat pengendalian inflasi di Kantor Kemendagri, Jakarta, Senin (20/10/2025).
Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya, mengakui bahwa banyak kepala daerah belum mampu mengeksekusi program dengan cepat. Ia menyebut, masalah ini bukan semata karena kesengajaan, melainkan akibat lemahnya sistem perencanaan, gagalnya lelang, serta lambannya proses administratif. “Banyak faktor membuat uang itu tidak berputar. Tapi intinya, uang rakyat harus bekerja, bukan menganggur,” tegas Bima.
Data Kemendagri menunjukkan, realisasi belanja daerah tahun 2025 turun 3 hingga 4 persen dibanding tahun lalu. Artinya, dana publik yang seharusnya menggerakkan ekonomi justru tertahan di sistem birokrasi.
Partai X: Negara Gagal Melayani Jika Dana Publik Tidak Bergerak
Menanggapi hal ini, Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X Institute, Prayogi R Saputra, menegaskan bahwa negara tidak boleh membiarkan uang rakyat menganggur di bank. Menurutnya, stagnasi belanja daerah adalah bentuk kegagalan negara dalam melayani dan mengatur rakyat.
“Tugas negara itu tiga: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Kalau uang rakyat dibiarkan tidur di bank, itu berarti negara gagal menjalankan tiga tugas itu,” tegas Prayogi di Jakarta, Selasa (21/10/2025).
Ia menilai, dana publik yang tidak terserap dengan optimal menunjukkan adanya krisis tata kelola dan lemahnya sistem pengawasan fiskal. Dalam konteks ini, Partai X menilai bahwa pemerintah pusat dan daerah harus melakukan koreksi menyeluruh terhadap manajemen keuangan daerah agar benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat.
Prinsip Partai X: Anggaran Publik Harus Produktif dan Berkeadilan
Partai X menegaskan bahwa keuangan publik adalah instrumen kedaulatan rakyat, bukan aset pasif pemerintah. Prinsip Partai X menempatkan anggaran sebagai sarana keadilan sosial dan pemerataan ekonomi.
Anggaran daerah tidak boleh menjadi tumpukan angka dalam laporan keuangan, melainkan harus bertransformasi menjadi jalan, sekolah, puskesmas, dan lapangan kerja. “Setiap rupiah dari rakyat harus kembali kepada rakyat dalam bentuk kesejahteraan,” tegas Prayogi.
Partai X menilai, kondisi Rp234 triliun dana daerah yang mengendap merupakan simbol kegagalan sistem pengawasan fiskal nasional. Ini menandakan bahwa birokrasi belum menempatkan kepentingan rakyat di atas kenyamanan administratif.
Solusi Partai X: Digitalisasi Fiskal dan Transparansi Anggaran Rakyat
Sebagai langkah solutif, Partai X mendorong reformasi menyeluruh terhadap tata kelola keuangan daerah berbasis prinsip transparansi dan kecepatan pelayanan publik. Ada tiga solusi yang ditawarkan Partai X untuk mengakhiri praktik dana mengendap di perbankan.
Pertama, menerapkan digital fiscal governance yang mengintegrasikan seluruh sistem keuangan pusat dan daerah agar realisasi anggaran bisa dipantau secara real-time oleh publik.
Kedua, membentuk Public Accountability Dashboard yang memudahkan masyarakat mengawasi proyek dan belanja pemerintah daerah. Dengan pengawasan publik, potensi kelambanan birokrasi dan praktik penyimpangan dapat ditekan secara signifikan.
Ketiga, memperkuat peran Badan Pemeriksa Keuangan Daerah (BPKD) sebagai pengawas internal dengan mandat transparansi dan partisipasi publik. Setiap anggaran harus melewati uji dampak sosial sebelum disetujui.
“Digitalisasi bukan sekadar modernisasi, tapi alat untuk memastikan setiap uang rakyat bekerja demi rakyat,” tegas Prayogi.
Partai X menegaskan bahwa uang rakyat tidak boleh menganggur. Setiap rupiah yang berasal dari pajak dan retribusi publik adalah amanah. Ketika uang itu tidak bergerak, maka pelayanan publik berhenti, ekonomi rakyat stagnan, dan keadilan sosial tertunda. “Negara harus memastikan bahwa uang rakyat bekerja, bukan mengendap. Karena uang rakyat adalah darah ekonomi bangsa,” tutup Prayogi R Saputra.



