Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia
Anggota Majelis Tinggi Partai X
Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
beritax.id – Bayangkan sebuah mobil tua yang mogok di tengah jalan. Mesinnya sudah aus, oli rembes ke mana-mana, dan suku cadangnya campur aduk. Alih-alih diperbaiki, supir justru memanggil penumpangnya (rakyat) untuk mendorong dari belakang. Persis itulah kondisi negara kita hari ini: negara yang seharusnya berjalan dengan sistem yang sehat, justru diserahkan bebannya kepada rakyat.
Rakyat kini harus “mendorong” negara dalam berbagai bentuk: pajak naik, jenis pajak bertambah, dan ruang hidup semakin sempit. Mulai dari pajak penghasilan, pajak bumi dan bangunan, hingga pajak online shop yang menyasar UMKM kecil di sudut pasar digital. Bahkan, wacana memungut pajak dari tempat olahraga, tempat ibadah, hingga kantin rakyat, sudah digaungkan.
Sementara itu, para pejabat justru mendapat fasilitas yang kian mewah. Jatah mobil dinas ditambah, tunjangan makan dan transportasi naik, uang hotel diperbesar, hingga perjalanan dinas ke luar negeri yang membengkak. Rakyat dipaksa berhemat, pejabat malah berpesta.
Contoh lainnya:
- Subsidi energi dipotong, rakyat disuruh menanggung kenaikan harga BBM dan listrik.
- Harga bahan pokok melonjak, rakyat harus menyesuaikan pola makan.
- Fasilitas kesehatan publik makin mahal, antrian panjang, dan kualitas layanan turun.
- Pendidikan digeser ke arah komersialisasi, biaya sekolah kian tak terjangkau.
Lalu sampai kapan rakyat harus mendorong “mobil” negara ini? Apakah rakyat harus terus kehabisan nafas, sementara elite duduk nyaman di kursi empuk?
Solusi Cak Nun: Dewan Negara, Level Tertinggi Penjaga Nasionalisme
Menurut Cak Nun, negara ini harus segera “turun mesin”. Tidak bisa lagi ditambal sulam dengan kebijakan populis, tidak bisa lagi sekadar ganti oli atau ganti ban. Butuh pembongkaran total: dari sistem, struktur, hingga mentalitas.
Solusinya adalah membentuk Lembaga sementara yaitu Dewan Negara, sebuah lembaga tertinggi di atas pemerintah, yang menjadi perwakilan nasionalisme sejati bangsa Indonesia. Dewan Negara ini bukan sekadar kumpulan elit partai politik atau teknokrat berjas, melainkan wadah musyawarah kenegarawanan yang diisi oleh orang-orang murni, yang sepanjang hidupnya terbukti bersih dari perusakan bangsa.
Mereka adalah “penjaga ruh bangsa”, yang tak lagi terjebak dalam (kejahatan) politik transaksional atau syahwat kekuasaan. Orang-orang yang rela bekerja dalam sunyi, tanpa sesumbar, tanpa permusuhan, hanya demi satu tujuan: mencintai Indonesia yang diberikan Allah kepada kita, dan merawatnya sepenuh jiwa.
Dewan Negara ini akan merumuskan etika kenegaraan, termasuk:
- Aturan ketat tentang utang negara, agar presiden tidak seenaknya membebani generasi mendatang.
- Standar moral dan etika pejabat, sehingga tidak ada lagi ruang untuk pemburu rente, mafia anggaran, atau politisi munafik.
- Draft Amandemen Kelima UUD 1945, sebagai peta jalan kedaulatan rakyat yang sebenarnya.
Kenapa Mendesak?
Negara kita menghadapi krisis multidimensi: ekonomi, hukum, sosial, hingga spiritual. Di “akad nikah” kita, yaitu Proklamasi 1945 dan Sumpah Pemuda 1928, tercermin semangat kesucian. Namun, realitas hari ini justru diwarnai oleh praktik gembelengan, logika transaksional, dan mentalitas “kerajaan” dalam (kejahatan) politik.
Jika perbaikan tidak dilakukan sekarang, rakyat akan terus dipaksa “mendorong mobil” yang seharusnya bisa berjalan sendiri. Lama-lama, rakyat akan jatuh sakit, kehilangan tenaga, bahkan kehilangan harapan.
Seperti mobil tua yang harus “turun mesin” agar bisa kembali melaju, negara ini juga harus direformasi total, bukan sekadar ganti sopir atau cat ulang bodi. Perlu keberanian kolektif untuk “membongkar”, memperbaiki, dan merakit ulang mesin ketatanegaraan.
Cak Nun menegaskan, jangan sampai rakyat hanya dijadikan pendukung di belakang, mendorong sambil kehabisan nafas, sementara elite duduk tertawa di kursi kemudi.
Mari kita wujudkan Dewan Negara yang murni, yang lahir dari cinta tulus pada bangsa, demi mengembalikan kedaulatan rakyat seutuhnya.