Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
beritax.id – Apa yang dimaksud negara? Apakah sekadar institusi dengan nama, undang-undang, lembaga tinggi, dan pejabat publik? Ataukah negara adalah rumah tempat rakyat berteduh, mencari keadilan, dan dijamin kehidupannya secara bermartabat?
Dalam berbagai forum Maiyah, Cak Nun—budayawan, intelektual organik, dan spiritualis bangsa, pernah mengatakan dengan sangat jujur dan berani: “Negara ini belum layak disebut negara.” Pernyataan itu bukan bentuk pesimisme, melainkan alarm yang perlu disikapi secara serius dan dewasa oleh seluruh elemen bangsa.
“Kalau kita kehilangan kambing, menempuh jalur hukum malah bisa kehilangan sapi,” ujar beliau. Ini bukan sekadar kritik terhadap sistem hukum, tapi sinyal bahwa fondasi keadilan di negeri ini sedang keropos.
Disfungsi Konstitusi dan Jalan Buntu Keadilan
Saat rakyat menempuh jalur hukum untuk mencari keadilan, yang ditemui justru tumpukan prosedur, permainan birokrasi, dan manipulasi aparat. Bahkan ketika vonis pengadilan telah jatuh, implementasinya bisa berbeda. Hukum kita ibarat sistem transportasi tanpa arah: ada rel, tapi keretanya rusak dan masinisnya tidak tahu peta.
Cak Nun menyebutnya sebagai “dismanajemen” dalam tubuh konstitusi. Hukum tampak seperti sudah jadi, tetapi praktiknya belum berfungsi. Ia mungkin indah di atas kertas, namun jauh dari kenyataan rakyat.
Negara Tanpa Perilaku Kenegaraan
Secara formal, Indonesia memiliki struktur negara: ada UUD 1945, DPR, MA, Presiden, dan lain-lain. Namun secara fungsional, rakyat masih mencari “negara” yang bisa dijadikan tempat mengadu. Negara ini seperti papan nama megah tanpa pelayanan di dalamnya. “Ini untuk mengatakan negara ini batal untuk disebut negara,” kata Cak Nun.
Kalau negeri sudah tidak bisa menghadirkan rasa aman, keadilan, dan kepastian bagi warganya, apakah ia masih layak disebut negara?
Pentingnya Reformasi Ketatanegaraan
Kegagalan ini bukan semata-mata soal oknum atau teknis birokrasi. Ini adalah masalah struktur. Ketika struktur ketatanegaraan dibangun tanpa mengakar pada realitas kultural dan spiritual bangsa, maka apa pun yang dibangun di atasnya akan rapuh. Kita butuh desain ulang tata negara, bukan tambal sulam.
Reformasi ketatanegaraan bukan berarti membongkar semua hal yang baik, tapi menyusun ulang struktur agar sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa, prinsip kedaulatan rakyat yang sejati, dan pembagian kekuasaan yang adil dan fungsional.
Visi Konstitusi Langit
Cak Nun sering berbicara tentang Konstitusi Langit, suatu gagasan bahwa tata negara seharusnya tidak hanya berlandaskan naskah hukum positif, tetapi juga selaras dengan nilai-nilai ketuhanan, moralitas, dan kebijaksanaan universal. Konstitusi Langit adalah arah spiritual dari konstitusi bumi yang kita rancang.
Mereka yang memahami visi ini tidak cukup hanya cerdas secara akademik. Mereka harus jernih, amanah, dan mampu menangkap frekuensi gagasan dari langit, tegangan spiritual yang hanya bisa diterima oleh hati yang bersih.
Penutup: Bangkitlah Para Negarawan!
Kini saatnya para eksekutor gagasan bangkit. Bukan hanya aktivis atau politisi, tetapi negarawan sejati yang mampu membumikan ilham-ilham luhur menjadi tindakan nyata. Negara ini harus dibangun ulang oleh mereka yang memiliki semangat arsitek sekaligus kontraktor. Mereka yang berani menanggung beban sejarah dan masa depan.
Meskipun Indonesia sudah batal. Tapi untuk menghindari kebatalan total, kita perlu jujur seperti Cak Nun, mengakui kerusakan, dan memulai pembenahan dari akarnya: struktur ketatanegaraan.