Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia | Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
beritax.id – Dalam salah satu refleksinya, Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) pernah menegaskan bahwa rakyat Indonesia sudah tidak punya jalan keluar. Sistem pemerintahan, sistem negara, bahkan perwakilan rakyat, semua itu ada secara formal, tetapi tidak pernah sungguh-sungguh mengakomodasi kehendak dan kedaulatan rakyat. Jalan hukum pun tak lagi memadai; sering kali jalur hukum justru menjadi labirin yang menyesatkan. Seperti yang dikatakan Cak Nun, “Kalau kita kehilangan kambing dan menempuh jalur hukum, malah bisa kehilangan sapi, bisa terjadi perang.”
Ironisnya, aparat pemerintah dan penegak hukum yang digaji oleh rakyat justru lupa siapa yang mereka layani. Seakan rakyat hanya dipandang sebagai “penduduk” biasa, bukan sebagai “rakyat” pemilik kedaulatan. Ini mengindikasikan bahwa negara ini, menurut Cak Nun, belum layak disebut negara, bahkan secara simbolik bisa dikatakan “batal” untuk disebut negara.
Konsep rakyat dalam bahasa Arab disebut ro‘iyah, yaitu kumpulan manusia yang memiliki kedaulatan. Sementara “penduduk” hanyalah sekumpulan orang yang numpang hidup, tidak memiliki kedaulatan, dan cenderung menjadi objek kekuasaan. Konsep inilah yang sering diabaikan. Karena itu, Cak Nun sering menyebut bahwa saat ini yang ada hanya “negara kerajaan Indonesia”, bukan negara kesatuan republik Indonesia yang sejati.
Hidup adalah Perang: Ajaran Spiritual yang Terlupakan
Cak Nun kemudian mengingatkan kita tentang hakikat perang dalam hidup. Bahwa “perang itu wajib”, sebagaimana disampaikan dalam Al-Qur’an:
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)
Perang di sini tidak melulu berarti angkat senjata. Perang juga berarti perjuangan melawan kezaliman, melawan keserakahan, melawan kesalahan sistem, dan terutama perang melawan diri sendiri.
Demokrasi yang kita banggakan hari ini kerap dijadikan topeng untuk menutupi permainan elit kekuasaan dan kepentingan asing. Ketika rakyat terus ditindas, saat itulah wajib bagi kita untuk “berperang” dalam arti berjuang menegakkan kebenaran.
KH Hasyim Asy’ari: Haji Bisa Tertunda, Perang Tidak!
Fatwa monumental KH Hasyim Asy’ari pada tahun 1947 adalah salah satu teladan sejarah. Dalam kondisi Indonesia menghadapi agresi Belanda, beliau menyatakan “Haram bagi umat Islam Indonesia meninggalkan tanah air dalam keadaan musuh menyerang untuk menjajah dan merusak agama. Karena itu, tidak wajib pergi haji.”
Fatwa ini menunjukkan keutamaan perjuangan membela tanah air di atas ibadah individu. Bagi KH Hasyim, jihad membela kemerdekaan lebih utama karena menyangkut maslahat umat secara luas.
Bahkan, Belanda sempat menawarkan fasilitas haji untuk melemahkan perlawanan rakyat Indonesia. Tetapi umat Islam saat itu, berkat fatwa KH Hasyim, memilih tetap di tanah air untuk berperang mempertahankan kemerdekaan.
Membangun Konstitusi Langit: Jalan Perang Spiritual dan Sosial
Cak Nun dalam banyak refleksinya berbicara tentang Konstitusi Langit, yaitu gagasan ketatanegaraan yang tidak hanya berlandaskan hukum buatan manusia, tetapi juga berpijak pada prinsip ketuhanan, keadilan, dan kemanusiaan.
Bagi Cak Nun, rakyat harus kembali ke hakikat sebagai ro‘iyah, pemilik kedaulatan penuh. Negara bukan sekadar rumah yang bobrok dengan atap bocor, dinding lembab, dan kamar mandi bau. Negara harus dibangun ulang sebagai “bangunan spiritual” yang kokoh.
Perjuangan untuk menegakkan Konstitusi Langit ini adalah bentuk perang yang sesungguhnya. Perang melawan sistem yang sudah tidak berpihak pada rakyat, perang melawan oligarki, perang melawan mentalitas korup, dan perang melawan “kenyamanan dalam ketidakbenaran”.
Seruan untuk Bangkit
Saat ini, rakyat Indonesia tidak lagi sekadar membutuhkan pemimpin, tetapi eksekutor gagasan yang berani berjuang di garis depan. Seperti para pejuang yang mengutamakan jihad ketimbang haji, kita juga harus mendahulukan perjuangan menegakkan kedaulatan rakyat sebelum sibuk dengan ritual seremonial semata.
Tujuan akhirnya adalah mengembalikan rakyat (ro‘iyah) sebagai pemilik sejati kedaulatan, bukan hanya sebagai “penduduk” pasif. Konsep Konstitusi Langit Cak Nun adalah jawaban atas kemandekan dan ketidakadilan yang sudah kronis.
Penutup
Jika KH Hasyim Asy’ari saja bisa memprioritaskan perang demi kemerdekaan Indonesia, bagaimana dengan kita hari ini? Apakah kita masih sibuk mempercantik citra, beribadah seremonial tanpa esensi, dan tetap nyaman dalam ketidakbenaran?
Sudah saatnya kita semua mengambil peran sebagai “tentara kebenaran” yang berperang demi keadilan dan kesejahteraan rakyat. Demi terwujudnya Konstitusi Langit, demi tegaknya kedaulatan sejati.
Mari bergerak, mari perang!