beritax.id – PDI Perjuangan kembali memusatkan peringatan puncak Bulan Bung Karno di makam Presiden Pertama RI, Soekarno, pada 20–21 Juni 2025. Ketua DPP PDIP Said Abdullah menyebut kegiatan ini sebagai bentuk perawatan “api perjuangan” Bung Karno, disertai tausiah keislaman dari ulama nasional seperti Gus Muwafiq dan Nasaruddin Umar. Acara ditutup dengan pidato Ketua Umum Megawati Soekarnoputeri di hadapan santri serta kader PDIP.
Namun di tengah meriahnya ritual peringatan, Partai X justru menyoroti paradoks yang mencolok: semangat dirayakan, tapi semangat kerakyatannya terus dipinggirkan oleh kebijakan kekuasaan.
Simbolisme Tanpa Implementasi Nyata
Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X-Institute, Prayogi R Saputra, mengkritik keras peringatan Bulan Bung Karno yang dianggap lebih menonjolkan simbolisme daripada implementasi ajaran sang Proklamator. Hal ini selalu menekankan kemandirian ekonomi, keadilan sosial, dan kedaulatan rakyat. Namun, realitas hari ini justru bertolak belakang.
Menurut Prayogi, rakyat masih terjebak dalam krisis sosial-ekonomi, sementara para pejabat lebih sibuk berkampanye dalam balutan retorika sejarah. “Jangan sampai yang dikenang hanya jasadnya, tapi tidak ruh dan keberpihakannya,” ujarnya.
Tugas Negara: Bukan Hanya Pidato dan Ziarah
Partai X menegaskan bahwa pemerintah yang baik harus menjalankan tiga tugas pokok: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat secara adil.
Bukan sekadar merayakan hari-hari besar nasional dengan kemasan megah. Namun abai pada keseharian rakyat yang masih kesulitan mengakses pendidikan, kesehatan, dan pangan.
Dalam konteks ini, Partai X mengingatkan bahwa pemerintah bukan pemilik negara, melainkan pelayan rakyat. Rakyat adalah pemilik sejati kedaulatan. “Merayakan Bung Karno bukan berarti memonopoli warisannya untuk kepentingan kelompok elektoral,” tegas Prayogi.
Solusi Partai X: Ajaran Bung Karno Harus Ditanamkan, Bukan Dimonopoli
Partai X menawarkan langkah konkret agar nilai-nilai Bung Karno tidak hanya dijadikan hiasan peringatan tahunan. Pertama, reformasi sistem melalui pendidikan kebangsaan berbasis Sekolah Negarawan program utama X-Institute yang memproduksi pemimpin visioner, berintegritas, dan berpihak pada rakyat.
Kedua, menyelenggarakan musyawarah kenegarawanan secara berkala untuk meninjau arah kebijakan nasional agar tetap setia pada cita-cita proklamasi dan keadilan sosial. Ketiga, menanamkan kembali Pancasila sebagai praktik hidup, bukan hanya narasi retoris. Peringatan Bung Karno semestinya menjadi momentum introspeksi nasional, bukan panggung politisasi sejarah.
Partai X mengajak seluruh elemen bangsa untuk tidak terjebak dalam romantisme sejarah tanpa arah. “Kalau memang Bung Karno adalah inspirasi, buktikan dengan menurunkan angka kemiskinan, memperbaiki gizi rakyat, dan menciptakan keadilan hukum,” ujar Prayogi.
Sejarah bukan sekadar untuk dikenang, tapi untuk diperjuangkan ulang dalam bentuk kebijakan yang konkret dan berpihak. Pancasila bukan sekadar simbol, melainkan instrumen strategis yang wajib diwujudkan dalam pengelolaan negara.