beritax.id – Pemerintah pusat selama bertahun-tahun menjual mimpi besar tentang energi bersih melalui pembangunan bendungan dan PLTA skala raksasa. Infrastruktur itu dipromosikan sebagai simbol kemajuan, kemandirian energi, dan masa depan hijau Indonesia. Namun di balik kemegahan fisiknya, tersimpan risiko ekologi yang tidak pernah dijelaskan secara jujur kepada publik.
Ketika bendungan megah dibangun di kawasan ekologis paling sensitif seperti Batang Toru, maka “kemegahan” itu memiliki bayangan yang sama besar: risiko bencana yang ikut membesar.
PLTA Batang Toru disebut-sebut sebagai bagian dari masa depan energi nasional. Namun faktanya, pembangunan proyek ini telah mengubah bentang alam secara drastis:
- lebih dari 70.000 hektare hutan hilang,
- jalur satwa langka terpotong,
- lereng bukit yang rapuh digali dan dipapas,
- sungai alami dialihkan melalui terowongan,
- dan zona resapan air hilang dalam skala besar.
Ekosistem Batang Toru bukan hanya rumah Orangutan Tapanuli yang sangat terancam punah ia adalah penyangga hidrologis bagi kabupaten-kabupaten di bawahnya.
Ketika hutan hilang, air kehilangan ruang untuk meresap; ketika bukit dipotong, tanah kehilangan kekuatannya. Dan ketika kedua proses itu berjalan bersamaan, risiko bencana meningkat berlipat.
Risiko Ekologis yang Tak Pernah Disebut dalam Brosur Pembangunan
Pemerintah sering berbicara tentang energi yang bersih, tetapi jarang membahas risiko ekologinya.
Padahal, proyek PLTA skala besar di kawasan sensitif memiliki dampak serius:
- peningkatan risiko longsor akibat perubahan struktur tanah,
- banjir bandang dari hilangnya hutan pelindung,
- ketidakstabilan sungai karena perubahan aliran air,
- perubahan iklim mikro di sekitar bendungan,
- dan kerentanan masyarakat hilir terhadap bencana hidrometeorologi.
Bencana besar di Tapanuli pada 2025 membuktikan bahwa sebagian risiko ini bukan sekadar potensi tetapi sudah menjadi kenyataan.
Ketika Pemerintah Daerah Gagal Menjadi Rem Pengaman
Di tingkat daerah, Gubernur Sumatera Utara tidak mengambil posisi sebagai pengawas lingkungan. Sikap penyangkalan terhadap deforestasi dan keterlambatan dalam menetapkan status darurat memperburuk situasi.
Saat pemerintah pusat mendorong proyek energi besar tanpa memikirkan daya dukung, dan pemerintah daerah gagal mengawasi dampaknya, rakyat yang tinggal di hilir menjadi pihak paling tak terlindungi.
Proyek terus berjalan, risiko terus membesar, tetapi perlindungan bagi warga tidak ikut membesar.
Menanggapi situasi ini, Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X Institute Prayogi R. Saputra memberikan pernyataan tegas: “Tugas negara itu tiga: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Tapi ketika negara hanya mengejar proyek besar tanpa mengurus keselamatan, maka tiga tugas itu tidak berjalan.”
Ia juga menegaskan bahwa pembangunan energi nasional tidak boleh menjadi alasan untuk merusak ekosistem.
“Kalau bendungan megah tapi rakyat di hilir hidup dalam ketakutan bencana, itu bukan kemajuan itu kelalaian.”
Prayogi mendesak pemerintah menghentikan kebiasaan menutupi risiko ekologis demi membenarkan proyek strategis nasional.
Solusi: Bangun Energi, Tapi Bangun juga Perlindungan Ekologinya
Partai X mendorong perubahan mendasar agar pembangunan energi tidak terus menjadi sumber ancaman ekologis:
- Evaluasi total PLTA Batang Toru dan seluruh proyek energi besar di zona sensitif. Audit independen untuk menilai dampak aktual terhadap geomorfologi dan hidrologi.
- Moratorium pembangunan baru di ekosistem yang memiliki nilai konservasi tinggi. Hulu DAS, zona longsor, dan habitat satwa langka harus menjadi kawasan non-negosiasi.
- Restorasi ekosistem hulu sebagai kewajiban perusahaan dan negara. Restorasi harus berbasis riset, bukan penanaman seremonial.
- Sistem mitigasi bencana terpadu pusat-daerah. Agar peringatan dini tidak diabaikan dan respons darurat tidak terlambat.
- Transparansi penuh analisis risiko ekologis sebelum proyek dilaksanakan. Rakyat berhak tahu apa saja ancaman yang akan mereka hadapi.
- Penguatan partisipasi publik dalam penilaian izin. Masyarakat lokal harus memiliki suara dalam hal yang menyangkut keselamatan mereka.
Pembangunan bendungan atau PLTA bukanlah kesalahan. Yang menjadi masalah adalah ketika kemegahan infrastruktur mengalahkan kewajiban negara untuk melindungi ekosistem dan manusia di sekitarnya.
Karena pada akhirnya, bendungan boleh megah, tetapi nyawa rakyat tidak boleh jadi tumbal dari kemegahan tersebut.



