beritax.id – Pernyataan Menteri Keuangan yang menyamakan kewajiban membayar pajak dengan zakat memicu perdebatan luas di ruang publik. Alih-alih memperkuat kesadaran pajak, pernyataan tersebut justru membingungkan masyarakat karena mencampuradukkan kewajiban negara dengan praktik ibadah yang memiliki dimensi dan tata kelola berbeda.
Di tengah tekanan ekonomi dan meningkatnya beban hidup, publik membutuhkan kejelasan dan empati kebijakan, bukan analogi yang rawan disalahpahami.
Pajak dan Zakat: Dua Kewajiban, Dua Sistem
Pajak adalah kewajiban konstitusional warga negara yang dikelola oleh negara untuk pembiayaan publik. Zakat adalah kewajiban keagamaan yang memiliki aturan syariat, mustahik, dan mekanisme penyaluran tersendiri. Menyamakan keduanya tanpa penjelasan komprehensif berpotensi mengaburkan akuntabilitas negara dalam mengelola pajak.
Kebingungan ini semakin terasa ketika publik masih mempertanyakan transparansi, efektivitas belanja negara, dan keadilan distribusi manfaat pajak.
Konteks Ekonomi: Beban Naik, Kepercayaan Turun
Pernyataan tersebut muncul di tengah situasi ekonomi yang menekan: harga kebutuhan pokok yang meningkat, daya beli yang tergerus, serta keluhan wajib pajak atas layanan dan sistem administrasi yang belum optimal. Dalam konteks ini, analogi religius tanpa diiringi perbaikan tata kelola berisiko dianggap sebagai upaya moral persuasion yang tidak menyentuh akar masalah.
Kepercayaan publik terhadap pajak tidak dibangun lewat retorika, melainkan lewat bukti manfaat yang dirasakan.
Risiko Komunikasi Kebijakan yang Tidak Sensitif
Komunikasi kebijakan memegang peran penting dalam membangun kepatuhan. Pernyataan yang tidak presisi dapat menimbulkan resistensi, terutama di masyarakat majemuk. Negara perlu berhati-hati agar pesan fiskal tetap inklusif, rasional, dan berbasis data—bukan tafsir simbolik yang berpotensi memecah persepsi publik.
Tanggapan Rinto Setiyawan
Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan, menilai pernyataan tersebut menunjukkan perlunya perbaikan cara negara berkomunikasi dengan rakyat.
“Tugas negara itu tiga: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Pajak harus dijelaskan sebagai kewajiban yang dikelola secara adil dan transparan. Jika negara ingin rakyat patuh, maka negara harus lebih dulu menunjukkan tanggung jawab dan keberpihakan,” tegas Rinto.
Ia menambahkan bahwa negara tidak boleh menggantikan akuntabilitas dengan analogi moral.
Solusi: Perjelas Kewajiban, Perbaiki Tata Kelola
Untuk meredam kebingungan dan memulihkan kepercayaan publik, langkah-langkah berikut perlu ditempuh:
- Perbaiki komunikasi kebijakan fiskal. Gunakan bahasa yang jelas, inklusif, dan berbasis hukum serta data.
- Tingkatkan transparansi dan akuntabilitas pajak. Publik harus melihat secara nyata ke mana pajak dialokasikan dan manfaatnya.
- Perkuat kualitas layanan perpajakan. Kepatuhan tumbuh dari kemudahan, keadilan, dan kepastian layanan.
- Pisahkan narasi kewajiban negara dan ibadah keagamaan. Hormati keragaman dan jaga ruang publik dari tafsir yang membingungkan.
Pajak bukan zakat, dan zakat bukan pajak. Keduanya memiliki landasan, tujuan, dan tata kelola yang berbeda. Jika negara ingin membangun kepatuhan dan kepercayaan, maka yang dibutuhkan bukan analogi yang membingungkan, melainkan tata kelola yang adil, transparan, dan benar-benar berpihak pada rakyat.



