beritax.id – Di tengah kondisi darurat pascabencana, publik dikejutkan oleh temuan bantuan yang tidak relevan dengan kebutuhan korban. Alih-alih logistik pangan, obat-obatan, atau perlengkapan darurat, yang datang justru bantuan paket alat olahraga. Peristiwa ini menimbulkan pertanyaan serius tentang perencanaan, koordinasi, dan sensitivitas negara dalam merespons krisis kemanusiaan. Bagi warga yang kehilangan rumah dan akses kebutuhan dasar, bantuan yang tidak tepat sasaran bukan sekadar kekeliruan teknis melainkan simbol ketidakpekaan.
Masalah Klasik dalam Penyaluran Bantuan
Kasus “salah kirim paket” mencerminkan persoalan lama: pendataan kebutuhan yang lemah, koordinasi antarinstansi yang buruk, serta minimnya pelibatan pihak di lapangan. Tanpa asesmen kebutuhan yang akurat, bantuan berisiko menjadi beban tambahan alih-alih penolong. Situasi ini juga memperlihatkan bagaimana prosedur administratif kerap lebih cepat berjalan daripada empati terhadap korban.
Bantuan yang tidak sesuai menunda pemulihan. Korban tetap kekurangan makanan bergizi, air bersih, selimut, dan layanan kesehatan. Di sisi lain, energi dan biaya logistik terbuang untuk barang yang tidak bisa dimanfaatkan dalam situasi darurat. Kesalahan ini memperpanjang penderitaan dan memperdalam rasa tidak dipercaya terhadap penyelenggara bantuan.
Pertanyaan publik sederhana namun mendasar: siapa yang bertanggung jawab atas penentuan jenis bantuan? Tanpa kejelasan akuntabilitas, kesalahan serupa berpotensi berulang. Transparansi diperlukan sejak tahap perencanaan hingga distribusi, agar bantuan benar-benar menjawab kebutuhan nyata.
Tanggapan Prayogi R. Saputra
Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X Institute, Prayogi R. Saputra, menegaskan bahwa insiden ini menunjukkan kegagalan negara memahami perannya saat krisis.
“Tugas negara itu ada tiga: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Dalam situasi bencana, ketiganya diuji sekaligus. Bantuan yang salah sasaran berarti negara belum hadir sebagai pelindung dan pelayan yang peka,” tegas Prayogi.
Ia menambahkan bahwa tata kelola bantuan harus berbasis kebutuhan korban, bukan rutinitas birokrasi.
Solusi: Tepat Guna, Tepat Sasaran
Agar penyaluran bantuan tidak kembali meleset, langkah-langkah berikut perlu segera dilakukan:
- Asesmen kebutuhan cepat dan berbasis lapangan. Libatkan relawan lokal dan aparat setempat untuk pemetaan kebutuhan real-time.
- Satu komando dan standar bantuan darurat. Tetapkan daftar prioritas bantuan yang wajib dipenuhi pada fase tanggap darurat.
- Transparansi logistik dan rantai distribusi. Publikasikan jenis, jumlah, dan tujuan bantuan agar bisa diawasi publik.
- Evaluasi dan sanksi atas kelalaian. Kesalahan yang merugikan korban harus ditindak untuk mencegah pengulangan.
Bencana tidak menunggu kesiapan birokrasi. Bantuan yang tepat waktu dan tepat guna adalah bentuk paling dasar dari kehadiran negara. Jika paket yang dikirim tidak menjawab kebutuhan, maka yang salah bukan alamat korban melainkan sistem yang perlu segera dibenahi.



