beritax.id – Kecanggihan Artificial Intelligence (AI) kini bukan lagi sekadar alat bantu. Ia telah menjadi mesin pembuat konten, suara, hingga wajah palsu. Konten viral bertajuk “Hari Pertama di Neraka” menjadi contoh bagaimana AI bisa menciptakan kegaduhan sosial.
Dosen STIH Adhyaksa Tangerang, Muhammad Arbani, mengingatkan bahaya AI dalam memperkuat polarisasi dan penyebaran hoaks. Ia menyebut teknologi ini mampu meniru suara dan wajah manusia secara nyaris sempurna, membuka celah manipulasi massal.
Arbani juga mengungkapkan bahwa masyarakat rentan, terutama usia 50 tahun ke atas, menjadi korban utama penipuan berbasis AI dan Augmented Reality (AR). Menurutnya, saat ini belum ada satu pun regulasi yang secara rinci mengatur hal ini.
Partai X: Negara Gagal Tanggap, Padahal Ancaman Sudah Jelas
Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan, menyatakan pemerintah tidak boleh diam terhadap ancaman etika dan huku. “AI dapat dijadikan sebagai alat bantu aal tidak salahgunakan oleh pengggunanya. Negara ini jangan terus-terusan responsif saat viral. Kebijakan harus antisipatif,” tegas Rinto.
Ia menyoroti kelemahan Undang-Undang ITE dan SE Menkominfo No. 9 Tahun 2023 yang dinilai tidak lagi relevan dalam menjawab perkembangan AI dan AR. Menurut Partai X, pemerintah wajib memperbarui kerangka hukum yang menyentuh aspek etika, ekonomi, dan pidana digital.
Partai X berpandangan bahwa perkembangan teknologi tidak boleh menjauh dari nilai kebangsaan, etika publik, dan hak asasi.
Dalam prinsip Partai X, negara wajib mengatur teknologi bukan untuk menghambat, tapi untuk melindungi rakyat.
Regulasi harus menjamin perlindungan data, mengatur kepemilikan karya AI, serta menetapkan batasan penggunaan teknologi deepfake dan generatif. “Jangan sampai hak orang dicuri mesin, lalu negara malah diam,” kata Rinto.
Solusi Partai X: Segera Bentuk UU AI dan AR Nasional
Partai X mendorong pembentukan Undang-Undang AI dan AR yang melibatkan publik, akademisi, serta pelaku industri teknologi. Rancangan ini harus menjawab aspek kepemilikan hak cipta, perlindungan konsumen, keamanan digital, dan pertanggungjawaban hukum.
Partai X juga menyarankan dibentuknya Komisi Etika Teknologi yang mengawasi penggunaan kecerdasan buatan di ruang publik. Komisi ini harus mandiri, berwibawa, dan transparan.
Melalui Sekolah Negarawan, Partai X meyakini bahwa para pemimpin masa depan harus memahami teknologi dan nilai kemanusiaan secara bersamaan. “Tak cukup pintar membuat undang-undang. Harus bijak menghadapi revolusi teknologi,” tegas Rinto.
Partai X menegaskan, teknologi seharusnya memperkuat kemanusiaan. Negara tak boleh tertinggal dari robot baik dalam kecerdasan, apalagi dalam keadilan.