beritax.id – Jakarta, 23 Juli 2025 – Sidang perkara perdata Nomor 446/Pdt.G/2025/PN.Jkt Pst yang diajukan oleh CV Rose Selular terhadap tiga orang tergugat yang merupakan hakim aktif bidang pajak, Muhammad Hanif Arkanie, S.T., M.Ec, Rahmaida, S.H., M.Kn., dan Rusdi Yanis, S.E., M.M., M.H menimbulkan keprihatinan serius atas praktik ketidakadilan dan arogansi kekuasaan hukum di Indonesia.
Dalam sidang perdana yang digelar pada 21 Juli 2025, tidak satu pun dari para tergugat hadir. Perlu diketahui bahwa ketiganya adalah anggota majelis hakim dalam sengketa pajak sebelumnya antara CV Rose Selular dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Padahal agenda sidang adalah penting, yaitu pemeriksaan legal standing para pihak.
“Ini bukan sekadar ketidakhadiran. Ini adalah simbol bahwa seseorang dengan profesi hakim yang bertugas menegakkan keadilan pun ternyata mereka bisa semena-mena menghindar,” ujar Fikri Abdul Wahab, Direktur CV Rose Selular.
Gugatan perbuatan melawan hukum ini rupanya dilatarbelakangi dari proses persidangan CV Rose Selular melawan DJP yang dipimpin oleh Hanif dkk. Di mana, selama persidangan berjalan, Hanif dkk menunjukkan gejala arogansi, di antaranya:
1. Masalah Legal Standing DJP yang diabaikan.
CV Rose Selular mempersoalkan keabsahan tim kuasa hukum DJP karena diduga tidak memenuhi syarat formal sesuai aturan Mahkamah Agung. Namun, Hanif dkk tetap mengakui kehadiran mereka tanpa pertimbangan terbuka.
2. Penolakan kehadiran saksi ahli secara on-site.
CV Rose Selular berencana menghadirkan saksi ahli secara langsung untuk memperkuat posisi hukum mereka. Namun, Hanif hanya mengizinkan penyampaian keterangan secara daring. Padahal, menurut CV Rose Selular, penghadiran saksi ahli secara on-site akan memberikan kemudahan bagi Hanif dkk dalam mendengarkan penjelasan saksi ahli tanpa ada gangguan jaringan.
3. Otoritarianisme Perpajakkan.
CV Rose Selular mengungkapkan bahwa Hanif dkk ini tidak adil dan berpihak pada institusi pajak, karena Pengadilan Pajak dan Direktorat Jenderal Pajak sama-sama di bawah Kementerian Keuangan. Ditambah lagi, pengabaian masalah legal standing ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap Pancasila dan UUD 1945.
Dari rangkaian kejadian tersebut, CV ROSE SELULAR akhirnya memutuskan untuk menempuh jalur perdata dengan menggugat Hanif dkk yang dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum (PMH) dalam menjalankan tugas penegakkan hukum untuk keadilan.
Ketidakhadiran para tergugat dalam sidang perdana menggambarkan sebuah gejala sistemik: arogansi yudisial yang memposisikan diri di atas hukum. Ketika rakyat menggugat, hadir di pengadilan adalah kewajiban moral dan hukum. Namun ketika Hanif dkk yang berprofesi hakim digugat, justru mereka yang mangkir tanpa keterangan.
Dilansir dari beritax.id, ketidakhadiran atau absen sidang para ASN ini merupakan bentuk pengingkaran terhadap fungsi pelayanan negara. Pemerintah seharusnya bukan entitas yang merasa di atas hukum. Mereka hanyalah sebagian kecil rakyat yang diberi kewenangan, bukan pemilik kekuasaan absolut.
Sikap seperti ini tidak hanya mempermalukan lembaga peradilan, tetapi juga menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap independensi dan integritas hakim.
Kasus ini adalah cermin betapa beratnya perjuangan mencari keadilan ketika yang digugat adalah pemegang palu itu sendiri. Ketika hakim tidak mau hadir untuk diproses seperti warga negara lain, maka pertanyaannya bukan lagi soal hukum, tapi soal kesetaraan, integritas, dan moral kekuasaan.