beritax.id — Gerakan ‘Stop Tot Tot Wuk Wuk’ ramai di media sosial. Masyarakat menolak pejabat menggunakan sirine dan strobo secara semena-mena. Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menegaskan surat edaran telah diberikan kepada pejabat negara. Ia menyebut penggunaan fasilitas sirine harus memperhatikan kepatutan serta hak pengguna jalan lain. Presiden Prabowo pun disebut tidak selalu memakai sirine bahkan kerap terjebak macet bersama rakyat.
Kakorlantas Polri Irjen Agus Suryonugroho mengatakan evaluasi penggunaan sirine sudah dilakukan. Polisi bahkan disebut tidak lagi mengawal dengan sirine karena mengganggu masyarakat. Menurutnya, aturan tetap ada, namun praktik lapangan tidak boleh menyakiti rakyat. Masyarakat menganggap gerakan ini wujud keresahan. Pejabat dianggap lebih sibuk melindungi privilese ketimbang memikirkan rakyat yang setiap hari menghadapi kesulitan ekonomi.
Partai X: Suara Jalanan Kontras dengan Suara Perut
Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X Institute Prayogi R Saputra menegaskan tugas negara itu tiga. Negara wajib melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Ia menyindir, pejabat sibuk memperdebatkan suara sirine, sementara rakyat masih kelaparan. Menurutnya, negara tidak boleh mengalihkan perhatian dari persoalan mendasar kesejahteraan rakyat. “Rakyat lapar, Istana justru sibuk mengatur suara strobo,” ujarnya.
Negara bukanlah milik pejabat, melainkan milik rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Pemerintah hanyalah pelayan rakyat, bukan pejabat yang harus dilayani. Pejabat tidak boleh memperlakukan fasilitas negara sebagai milik pribadi. Pancasila menegaskan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, bukan hanya kenyamanan penguasa di jalan raya.
Solusi Partai X
Partai X menawarkan solusi nyata atas krisis keadilan. Pertama, pemisahan tegas negara dan pemerintah agar kebijakan tidak dipersonalisasi penguasa. Kedua, pembaruan hukum berbasis kepakaran sehingga aturan penggunaan fasilitas negara jelas, tegas, dan berpihak pada rakyat. Ketiga, pendidikan moral berbasis Pancasila harus ditegakkan sejak sekolah agar generasi mendatang menghormati kesetaraan. Keempat, transformasi birokrasi digital yang memastikan transparansi dan akuntabilitas, termasuk pengawasan penggunaan fasilitas negara. Dengan solusi ini, keadilan tidak hanya berhenti pada simbol, tetapi benar-benar dirasakan rakyat.