beritax.id – Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menegaskan anggota DPR tak lagi menerima tunjangan rumah Rp 50 juta setelah Oktober 2025. Menurut Dasco, tunjangan itu hanya berlaku selama satu tahun, yakni Oktober 2024 hingga Oktober 2025. Dana Rp 50 juta per bulan tersebut, kata dia, digunakan untuk biaya kontrak rumah anggota DPR selama lima tahun.
“Jadi, kalau publik lihat daftar tunjangan November 2025, angka Rp 50 juta tidak ada lagi,” jelas Dasco.
Namun, ia mengakui penjelasan yang disampaikan sebelumnya kurang detail, sehingga menimbulkan polemik di masyarakat luas.
Partai X: Jangan Hanya Gimik Publik
Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X-Institute, Prayogi R Saputra, menilai kebijakan ini tidak menyelesaikan akar persoalan.
“Tugas negara itu tiga: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Jangan sampai DPR hanya berhenti di gimik,” tegas Prayogi.
Menurutnya, rakyat masih menilai DPR hidup dengan fasilitas mewah di tengah kondisi ekonomi yang kian sulit.
Prinsip Partai X: Negara Harus Kembali ke Rakyat
Partai X menegaskan prinsip dasarnya bahwa negara bukanlah panggung pejabat, melainkan ruang pengabdian bagi seluruh rakyat.
Negara terdiri dari rakyat, wilayah, dan pemerintah. Pemerintah hanya sebagian kecil rakyat yang diberi mandat melayani, bukan menguasai.
Oleh karena itu, kebijakan penghentian tunjangan rumah DPR harus diiringi reformasi fasilitas pejabat secara menyeluruh.
Solusi Partai X: Reformasi Anggaran Fasilitas Pejabat
Partai X menawarkan solusi nyata agar keputusan DPR tidak berhenti sebagai pencitraan:
- Audit fasilitas pejabat secara transparan, melibatkan publik untuk menilai kelayakan.
- Alihkan anggaran tunjangan mewah menjadi subsidi pendidikan, kesehatan, dan perumahan rakyat.
- Terapkan Musyawarah Kenegarawanan Nasional untuk merumuskan standar fasilitas pejabat yang adil, proporsional, dan tidak mencederai rasa keadilan rakyat.
- Bangun sistem digital keterbukaan anggaran, sehingga setiap rupiah anggaran pejabat dapat dipantau masyarakat.
Partai X menekankan bahwa rakyat membutuhkan keadilan anggaran, bukan sekadar pencitraan penghentian tunjangan.
“Negara harus hadir dengan kebijakan yang adil, berpihak pada rakyat, bukan hanya berhenti di gimik,” pungkas Prayogi.