Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia
Anggota Majelis Tinggi Partai X
Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
Jonan dan Revolusi Transportasi Rakyat
beritax.id – Nama Ignasius Jonan melekat di ingatan publik sebagai sosok reformis yang membawa perubahan besar dalam layanan transportasi kereta api di Indonesia. Sebelum Jonan masuk ke PT Kereta Api Indonesia (KAI), kondisi perusahaan tersebut jauh dari kata membanggakan. Kereta sering terlambat, stasiun berantakan, fasilitas buruk, dan pemandangan penumpang berdesakan berdiri di gerbong ekonomi adalah hal lumrah. Rakyat merasa seolah tidak ada pilihan lain selain menerima kondisi itu.
Namun Jonan hadir dengan gaya kepemimpinan yang berbeda. Ia turun langsung ke lapangan, menyusuri stasiun demi stasiun, melihat dengan mata kepala sendiri persoalan yang dihadapi penumpang. Dari situ lahir kebijakan revolusioner: peningkatan ketepatan waktu, pembersihan stasiun, perbaikan fasilitas, hingga aturan ketat soal tiket dan kursi penumpang.
Salah satu langkah berani Jonan adalah menghidupkan kembali kereta Argo Parahyangan jurusan Jakarta–Bandung. Pada masa itu, kehadiran jalan tol Cipularang membuat kereta api rute tersebut hampir mati suri. Banyak yang pesimis, berpikir kereta api akan kalah bersaing dengan mobil pribadi atau bus yang lewat tol. Tapi Jonan justru membalik keadaan.
Ia menekankan pada seluruh jajaran KAI bahwa kereta api harus fokus pada kepuasan pelanggan. Ia bahkan pernah berkata, “Masa kita kalah sama benda mati, yaitu jalan tol?” Dari situ lahir inovasi layanan, perbaikan jadwal, dan peningkatan kualitas kereta. Hasilnya, Argo Parahyangan kembali ramai, bahkan menjadi pilihan utama masyarakat karena lebih nyaman, tepat waktu, dan efisien.
Keberhasilan Jonan di KAI adalah bukti nyata bahwa kepemimpinan yang membumi, mendengar suara rakyat, dan fokus pada pelayanan publik bisa mengubah persepsi masyarakat. Jonan dicintai bukan karena retorika, tetapi karena tindakan nyata yang dirasakan langsung manfaatnya oleh rakyat.
Sri Mulyani dan Beban Fiskal Rakyat
Berbeda jauh dengan kisah Jonan, sosok Menteri Keuangan Sri Mulyani seringkali justru menjadi sorotan negatif di mata publik. Di atas kertas, ia memang dipuji kalangan internasional sebagai “Menteri Keuangan terbaik”, namun di akar rumput, rakyat kerap merasa kebijakan yang lahir dari tangannya justru menambah beban hidup sehari-hari.
Sri Mulyani identik dengan kebijakan fiskal yang dinilai tidak populer. Pajak dinaikkan dengan berbagai instrumen, mulai dari PPN hingga wacana pajak karbon. Utang luar negeri terus bertambah hingga ribuan triliun rupiah, dengan dalih pembangunan dan keberlanjutan fiskal. Namun, rakyat jarang sekali merasakan langsung manfaat dari penambahan utang itu dalam bentuk pelayanan publik yang lebih baik.
Lebih parah lagi, cara komunikasi Sri Mulyani kerap menuai kontroversi. Pernyataannya yang menyamakan pajak dengan zakat, misalnya, dianggap menyinggung sensitivitas umat beragama. Bagi banyak kalangan, pajak adalah kewajiban negara yang dipaksakan, sementara zakat adalah ibadah yang lahir dari keikhlasan. Menyamakan keduanya dianggap tidak hanya keliru secara teologis, tetapi juga merendahkan makna spiritual zakat itu sendiri.
Di saat rakyat mengeluh soal harga kebutuhan pokok yang terus naik, Sri Mulyani sering menimpakan kesalahan pada faktor eksternal: perang Iran–Israel, kondisi geopolitik global, hingga fluktuasi pasar dunia. Alih-alih memberi solusi menenangkan, penjelasan semacam itu justru dinilai sebagai upaya cuci tangan, seolah beban rakyat adalah akibat dunia luar, bukan karena salah kelola fiskal di dalam negeri.
Kontras Dua Gaya Kepemimpinan
Perbedaan antara Jonan dan Sri Mulyani begitu mencolok. Jonan membangun kepercayaan publik karena ia hadir di lapangan, memperbaiki layanan, dan fokus pada kepuasan pelanggan. Rakyat melihat perubahan nyata: kereta api jadi bersih, nyaman, tepat waktu, dan teratur. Sementara Sri Mulyani lebih banyak hadir dalam bentuk angka, laporan, dan kebijakan yang terasa jauh dari realitas rakyat.
Jonan mengajarkan bahwa pemimpin publik harus melihat rakyat sebagai “pelanggan” yang harus dipuaskan. Sri Mulyani seolah menjadikan rakyat sebagai “sapi perah” yang terus dipungut beban pajak tanpa pernah diberi kepastian imbal balik yang sebanding.
Di sinilah letak perbedaan besar: Jonan memberi nilai tambah langsung, Sri Mulyani menambah beban tanpa kejelasan manfaat.
Pasal 1 UUD 1945: Rakyat Adalah Bos
Konstitusi negara kita jelas menyatakan dalam Pasal 1 UUD 1945 bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Artinya, dalam negara republik, rakyat adalah pemilik sah negara ini. Pemerintah hanyalah pelaksana mandat. Sama seperti dalam perusahaan, manajemen boleh hebat di atas kertas, tapi kalau gagal memuaskan pemilik modal dan pelanggan, maka manajemen akan diganti.
Jonan memahami filosofi ini. Ia tahu bahwa pemilik sesungguhnya dari layanan publik adalah rakyat yang membeli tiket kereta, rakyat yang menunggu di stasiun, rakyat yang butuh transportasi terjangkau. Maka segala kebijakan diarahkan untuk membuat rakyat puas. Hasilnya, legitimasi dan kepercayaan tumbuh.
Sri Mulyani seakan lupa pada prinsip dasar itu. Alih-alih memuaskan rakyat sebagai bos tertinggi, kebijakan fiskalnya sering dianggap lebih tunduk pada tekanan internasional, lembaga donor, atau pasar global. Rakyat jarang sekali ditempatkan sebagai pusat dari kebijakan fiskal. Padahal, apa arti pertumbuhan ekonomi tinggi jika harga kebutuhan sehari-hari tidak terjangkau?
Kepemimpinan yang Melayani vs Kepemimpinan yang Membebani
Opini publik hari ini adalah cermin sederhana: pemimpin dicintai jika melayani, pemimpin dihujat jika membebani. Jonan menunjukkan bahwa perubahan bisa dimulai dari hal sederhana, membersihkan stasiun, menertibkan jadwal, memastikan penumpang dapat kursi. Dari langkah kecil itu lahir reputasi besar.
Sri Mulyani, di sisi lain, gagal memahami psikologi rakyat. Rakyat tidak peduli berapa peringkat kredit Indonesia di mata lembaga internasional jika harga beras melonjak. Rakyat tidak akan puas dengan retorika geopolitik jika tagihan listrik dan BBM mencekik. Dan rakyat ingin solusi nyata, bukan pembenaran.
Penutup
Sejarah akan mencatat perbedaan ini. Jonan dikenang sebagai birokrat yang mendekat ke rakyat, mendengar, lalu memperbaiki. Sri Mulyani akan terus dihantui oleh kritik sebagai menteri yang lebih suka menaikkan beban daripada memberi keringanan.
Dalam negara republik, rakyat adalah bos. Bos yang sebenarnya tidak menuntut banyak, hanya ingin dilayani dengan baik, diberi harga yang adil, dan diyakinkan bahwa uang mereka tidak bocor ke tangan segelintir elit. Jonan berhasil memberi pelajaran itu. Sri Mulyani masih gagal meyakinkan.