Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia
Anggota Majelis Tinggi Partai X
Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
Gejolak Rakyat dan Tantangan Kekuasaan
beritax.id – Tanggal 13 Agustus 2025 menjadi titik balik yang pahit dalam sejarah pemerintahan daerah di Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Ribuan rakyat turun ke jalan dalam aksi demonstrasi besar-besaran, menolak kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250 persen yang dilakukan Bupati Pati. Aksi itu tak hanya menyuarakan keberatan ekonomi, tetapi juga menjadi simbol akumulasi kekecewaan terhadap kepemimpinan Bupati Pati Sudewo yang dianggap tidak berpihak pada nasib rakyat.
Bupati Pati bahkan sempat mengeluarkan pernyataan menantang: “Silakan demo 50 ribu orang.” Alih-alih meredam gejolak, ucapan itu justru menyulut api perlawanan. Ketika pemimpin justru memancing kemarahan publik alih-alih mencari solusi, maka jurang antara rakyat dan penguasa semakin dalam.
Kebijakan Pusat dan Efek Domino Daerah
Di balik keputusan kontroversial ini, ada ironi yang lebih besar yaitu pemangkasan transfer dana dari pusat ke daerah hingga 50% oleh Menteri Keuangan demi menambal defisit dan membayar utang luar negeri. Proyek digitalisasi pajak seperti Coretax gagal meningkatkan penerimaan, dan imbasnya, beban fiskal justru dilempar ke pundak rakyat.
Kondisi ini memaksa pemerintah daerah mencari “jalan pintas” dengan menaikkan pajak. Di tengah biaya politik pilkada yang tinggi dan janji-janji kampanye yang sulit dipenuhi, rakyat menjadi korban kebijakan instan yang minim empati.
Cak Nun: Pemimpin yang Injak Rakyat Akan Ditawur Rakyatnya Sendiri
Dalam salah satu acara Maiyah, budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) pernah mengingatkan:
“Pemimpin yang injak-injak rakyatnya, dia akan mati ditawor rakyatnya sendiri.”
Pernyataan ini bukan sekadar peringatan moral, tetapi cermin dari hukum sosial. Ketika rakyat merasa dizalimi, suara hati mereka akan berubah menjadi kekuatan kolektif. Apa yang terjadi di Pati hari ini adalah bukti nyata bahwa rakyat tak akan diam jika keadilan diinjak dan kesejahteraan diabaikan.
Bukan Kasus Tunggal
Fenomena serupa mulai tampak di daerah lain: Jombang, Semarang, Banyuwangi, Cirebon, dan kota-kota lain yang bersiap menaikkan pajak demi menambal APBD. Ini bukan hanya soal teknis keuangan, tapi juga soal arah dan filosofi bernegara. Ketika negara tidak mampu melindungi, justru membebani, maka krisis kepercayaan bukan hanya kemungkinan, ia menjadi keniscayaan.
Akhir Kata: Reformasi Sistemik Tak Terelakkan
Pernyataan Cak Nun menjadi penutup paling jelas atas apa yang sedang terjadi: pemimpin bukanlah raja yang berkuasa atas rakyat, tapi pelayan yang seharusnya mengayomi. Negara ini bukan kerajaan, dan rakyat bukan budak fiskal. Jika pemerintah tetap abai terhadap suara rakyat, maka gelombang “tawuran moral” akan menjadi gelombang perubahan.
Sudah saatnya dilakukan perubahan menyeluruh terhadap struktur ketatanegaraan. Bukan sekadar ganti aktor, tetapi ganti sistem. Kedaulatan rakyat harus dikembalikan ke tempat semestinya, sesuai amanat Pasal 1 Ayat 2 UUD 1945.