Pernahkah kita merasa seperti hidup di negeri yang keputusannya makin lama makin sulit dinalar? Di atas kertas, Indonesia disebut sebagai negara berkembang yang siap menuju “Indonesia Emas 2045.”
Namun kenyataannya, rakyat masih harus berebut bantuan sosial, harga kebutuhan pokok naik terus, dan utang negara semakin membengkak. Sementara itu, kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah justru tampak seperti lelucon yang tak lucu.
Hal ini menimbulkan pertanyaan serius, apakah pemerintah benar-benar tidak memahami dampak kebijakan mereka, atau justru mereka sangat memahami dan hanya memanfaatkan ketidaktahuan publik?
Janji vs Realita
Pemerintah sering membanggakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia stabil di atas 5 persen. Namun menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025, sebanyak 59,4% pekerja masih berada di sektor informal, yang berarti tanpa jaminan sosial atau penghasilan tetap. Daya beli masyarakat juga terus menurun seiring naiknya harga bahan pokok seperti beras, minyak goreng, dan telur. Dikutip dari Katadata (April 2025), harga beras medium nasional tembus Rp15.000/kg, jauh dari harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan.
Pertanyaannya: pertumbuhan ekonomi ini sebenarnya dinikmati oleh siapa? Karena di sisi lain, proyek-proyek mercusuar seperti pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) dan bandara di daerah sepi tetap digelontorkan. Proyek ini dibiayai utang yang kini mencapai Rp8.300 triliun per Mei 2025 menurut data Kementerian Keuangan.
Sayangnya, utang yang diklaim “produktif” ini belum menunjukkan hasil signifikan dalam kesejahteraan rakyat. Jalan tol dibangun tapi hanya dinikmati pemilik kendaraan pribadi, sementara mayoritas rakyat masih berkutat pada kebutuhan dasar harian.
Manipulasi Narasi dan Distraksi Publik
Aneh rasanya, ketika keputusan penting sedang disahkan atau kebijakan kontroversial muncul, pemberitaan media justru sibuk membahas isu-isu remeh seperti perselingkuhan artis atau keributan antar influencer. Menurut Reporters Without Borders (RSF), indeks kebebasan pers Indonesia pada 2024 berada di peringkat 108 dari 180 negara, menurun dari tahun sebelumnya. Media yang seharusnya menjadi kontrol terhadap kekuasaan justru berubah fungsi menjadi alat pengalihan isu demi rating dan klik.
Kekacauan besar tidak perlu disembunyikan, cukup ditimbun dengan kekacauan kecil yang viral. Akibatnya, publik kehilangan fokus, berhenti berpikir kritis, dan menjadi mudah digiring. Dalam iklim informasi seperti ini, tidak heran jika kekuasaan berjalan tanpa kontrol publik yang efektif.
Kekacauan Hukum dan Etika: Semua Bisa Diatur
Di Indonesia, hukum masih seperti pisau yang hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Rakyat biasa bisa dihukum berat untuk kesalahan kecil, tapi pelanggaran etik oleh pejabat tinggi sering kali berakhir dengan kompromi atau penghilangan kasus. Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), sepanjang 2024 terdapat 691 kasus korupsi yang ditangani, tetapi banyak yang menguap tanpa kejelasan vonis atau pengembalian kerugian negara. Ini menunjukkan lemahnya penegakan hukum dan kuatnya impunitas bagi elite.
Lebih dari sekadar korupsi finansial, negara ini juga mengalami korupsi moral: hilangnya rasa malu, akal sehat, dan tanggung jawab dari para pengambil kebijakan. Akibatnya, publik tidak lagi percaya bahwa sistem hukum bisa memberikan keadilan.
Melemahnya Protes Publik Terhadap Pemerintah Indonesia
Dulu, kebijakan yang merugikan rakyat bisa memicu gelombang aksi besar. Tapi sekarang, kebijakan ngawur berlalu tanpa banyak perlawanan. Fenomena ini disebut learned helplessness, yaitu kondisi di mana masyarakat yang terus-menerus mengalami ketidakadilan akhirnya merasa bahwa protes pun tidak akan membawa perubahan. Menurut survei Indikator Politik Indonesia pada Mei 2024, lebih dari 60% masyarakat merasa suara mereka tidak berpengaruh terhadap keputusan pemerintah.
Ketika protes tak lagi dianggap berguna, masyarakat perlahan apatis. Bukan karena tidak peduli, tapi karena merasa tidak punya ruang dan daya. Lebih parah lagi, kegilaan sistem ini mulai dianggap wajar. Inilah titik paling berbahaya dari sebuah demokrasi yang membusuk dari dalam.
Harapan Untuk Pemerintah Indonesia Itu Masih Ada
Meski semua tampak suram, bukan berarti tidak ada harapan. Solusi pertama adalah menyadari bahwa pemerintah bukan pemilik negara, melainkan pelayan rakyat. Rakyat adalah pemilik “bus”, dan pemerintah hanyalah “sopir”. Ketika arah sudah melenceng, rakyat berhak mengganti sopir. Ini bukan soal demo semata, tapi juga soal literasi publik. Pendidikan politik harus diperluas agar rakyat sadar hak dan perannya.
Sejarah menunjukkan, ketika rakyat sadar dan bersatu, perubahan adalah keniscayaan. Dan Pancasila bukan sekadar simbol, tapi panduan hidup. Jika setiap sila dijalankan dengan konsisten yang adil, manusiawi, bermusyawarah sehingga keadilan sosial bukan mustahil.