Menjadi rakyat Indonesia hari ini terasa seperti hidup di labirin kebijakan yang membingungkan dan menyesakkan. Di satu sisi, kita diminta untuk mencintai negeri ini tanpa syarat. Tapi di sisi lain, negara seolah lupa bagaimana caranya mencintai rakyat. Kritik dianggap pengkhianatan, protes dibalas dengan ancaman, dan keinginan untuk hidup layak ditanggapi dengan sinisme. Serba salah jadi rakyat Indonesia.
Kritik Dibungkam, Demokrasi Dihabisi
Salah satu gejala yang paling mencolok dari demokrasi yang pincang adalah sikap anti-kritik dari pejabat publik. Ketika rakyat menyuarakan ketidakpuasan atas kebijakan, baik melalui media sosial, demonstrasi, maupun forum resmi jawabannya seringkali bukan klarifikasi atau dialog, melainkan pembungkaman.
Contohnya, survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) tahun 2023 menunjukkan bahwa 62% masyarakat merasa takut menyuarakan pendapat di ruang publik karena khawatir dikriminalisasi atau diintimidasi. Bukankah demokrasi seharusnya menjamin kebebasan berekspresi?
Rakyat Bos? Kok Malah Dibentak?
Secara prinsip, dalam sistem demokrasi, rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi. Pemerintah hanyalah perpanjangan tangan rakyat untuk mengelola negara. Gaji pejabat berasal dari pajak yang dibayar oleh rakyat. Tapi ironisnya, ketika rakyat menuntut transparansi dan keadilan, mereka justru diminta diam atau “pindah negara kalau tidak suka.”
Ini tentu bertolak belakang dengan prinsip good governance. Menurut Transparency International, Indonesia menempati peringkat 115 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2023, dengan skor hanya 34/100. Skor ini mencerminkan rendahnya integritas sektor publik dan lemahnya akuntabilitas.
Demokrasi Rasa Wajib Militer
Pemilu yang diadakan setiap lima tahun seolah menjadi satu-satunya saluran partisipasi rakyat. Tapi apakah benar rakyat bebas memilih? Dalam praktiknya, nama-nama calon sudah disaring oleh partai politik berdasarkan kekuatan modal dan koneksi. Ini membuat rakyat hanya bisa memilih dari daftar yang telah dikurasi, bukan berdasarkan aspirasi sejati mereka.
Penelitian Indonesian Corruption Watch (ICW) tahun 2024 mencatat bahwa 58% caleg DPR RI terpilih adalah pemilik modal besar atau memiliki latar belakang pengusaha. Pemilu kita bukanlah perayaan rakyat, melainkan arena oligarki yang dikemas dengan prosedur legal.
Bahkan saat rakyat memilih untuk golput (tidak menggunakan hak pilih) karena kecewa terhadap semua kandidat, mereka dicap “tidak nasionalis.” Padahal, dalam demokrasi sejati, kebebasan memilih juga berarti kebebasan untuk tidak memilih.
Nasionalisme = Tinggal di Indonesia?
Stigma terhadap warga negara yang memilih hidup di luar negeri juga mencerminkan nasionalisme sempit yang membingungkan. Data Kementerian Luar Negeri RI per September 2023 menyebutkan bahwa sekitar 2,2 juta WNI tinggal di luar negeri, sementara perkiraan World Bank mencatat angka bisa mencapai 9 juta. Mereka bekerja, belajar, dan membangun masa depan di luar negeri, banyak di antaranya tetap berkontribusi untuk Indonesia melalui remitansi, promosi budaya, bahkan diplomasi informal.
Bank Indonesia mencatat, remitansi dari pekerja migran Indonesia sepanjang 2023 mencapai Rp128 triliun. Bukankah itu bentuk kontribusi nyata terhadap perekonomian nasional?
Lantas, siapa yang lebih nasionalis? Apakah orang yang tinggal di Indonesia tapi korupsi triliunan, atau mereka yang tinggal di luar negeri namun tetap menghidupi keluarga di tanah air dan membanggakan identitas keindonesiaannya?
Keadilan yang Dikorbankan demi Kekuasaan
Yang paling menyakitkan adalah ketika hukum terasa hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Ketika rakyat kecil telat bayar pajak atau iuran, negara bertindak tegas. Tapi ketika pejabat korupsi miliaran, proses hukumnya bisa ditunda, ditawar, bahkan dihilangkan.
Contoh nyata adalah penurunan vonis bagi sejumlah koruptor besar seperti kasus Lukas Enembe, yang awalnya dituntut 10 tahun penjara, namun divonis hanya 8 tahun. Menurut Indonesia Corruption Watch, sepanjang 2023 ada 44 kasus korupsi besar yang vonisnya lebih ringan dari tuntutan jaksa. Ini menunjukkan ketidakseriusan penegakan hukum dalam memberantas korupsi elite.
Solusi: Bukan Sekadar Demokrasi Prosedural
Menurut prinsip yang diusung oleh Partai X, demokrasi sejati adalah ketika pemerintahan dijalankan secara efektif, efisien, dan transparan demi kesejahteraan rakyat. Saat ini, kita terjebak dalam demokrasi procedural, di mana semua tampak legal, tapi jauh dari keadilan.
Partai X menekankan bahwa pemerintah adalah sebagian kecil rakyat yang diberi kewenangan oleh seluruh rakyat untuk membuat kebijakan dan menjalankannya secara efektif, efisien, dan transparan demi mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat, bukan sebaliknya. Namun kenyataannya, pejabat justru menggunakan kekuasaan untuk memperkaya diri dan kelompoknya.
Kesimpulan: Saatnya Rakyat Bersatu, Bukan Dipersalahkan
Menjadi rakyat Indonesia hari ini adalah perjuangan mental. Serba salah. Tidak puas dibilang pengkhianat. Ingin pindah, dicap tak cinta tanah air. Diam, ditindas. Suara rakyat hanya dicari saat kampanye, setelah itu dilupakan.
Nasionalisme bukan soal tempat tinggal, tapi soal kontribusi. Keadilan bukan soal administrasi hukum, tapi soal rasa keadilan yang hidup di nurani rakyat. Sudah waktunya sistem dirombak, bukan hanya dengan ganti pejabat, tapi dengan perubahan menyeluruh terhadap sistem pemerintahan dan hukum yang lebih berpihak pada rakyat, bukan pada oligarki.