Sudah saatnya kita jujur dan buka mata lebar-lebar: pemerintah kita mandul. Bukan secara biologis, tapi secara fungsi dan tanggung jawab. Ketika lembaga-lembaga negara gagal menjalankan tugas dasarnya adalah memberi keadilan, menjamin rasa aman, dan menghadirkan kesejahteraan. Itu bukan lagi soal kegagalan teknis. Itu tanda kerusakan sistemik.
“Mandul” dalam Konteks Pemerintahan
Coba tengok satu per satu institusi penting yang dulu jadi harapan rakyat. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dulu ditakuti koruptor, kini tinggal bayang-bayang masa lalu. Setelah revisi UU KPK Nomor 19 Tahun 2019, wewenang KPK justru dikerdilkan. Koalisi masyarakat sipil bahkan menyebut KPK telah “dipreteli dan dilemahkan secara sistematis”.
Bukan cuma KPK. Penegakan hukum oleh Kepolisian Republik Indonesia dan Kejaksaan Agung pun kerap dipertanyakan. Penanganan kasus dengan pelaku “orang kuat” sering mandek atau berjalan sangat lambat. Sementara, rakyat kecil yang melakukan pelanggaran ringan bisa langsung dihukum cepat.
Begitu pula DPR yang seharusnya menjadi lembaga pengawas pemerintah, malah sibuk bagi-bagi kekuasaan dan proyek. Badan Legislasi lebih aktif membuat UU yang kontroversial, seperti Omnibus Law Cipta Kerja, ketimbang menampung aspirasi rakyat.
Mengapa bisa terjadi? Karena sistemnya sudah busuk. Kartel kekuasaan dan oligarki telah menyandera lembaga-lembaga negara. Demokrasi menjadi formalitas 5 tahunan, sedangkan realitasnya, rakyat tidak punya ruang suara. Lembaga yang dulunya milik publik, kini dijinakkan untuk tidak menggoyang kekuasaan.
Dampak Kemandulan Lembaga Pemerintah Indonesia
Kelemahan institusi ini bukan sekadar teori politik. Dampaknya terasa langsung di hidup rakyat. Menurut data Kementerian Keuangan, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang mencapai Rp 3.325 triliun pada 2024 tidak sepenuhnya berpihak pada rakyat. Banyak program tersandera korupsi dan birokrasi tak efisien. Misalnya, kasus korupsi bansos saat pandemi yang melibatkan pejabat tinggi, menunjukkan betapa sistem distribusi kita sangat rentan disalahgunakan.
Layanan publik? Jangan ditanya. Urusan KTP, BPJS, izin usaha masih berbelit. Bahkan menurut data Ombudsman RI, indeks kepatuhan pelayanan publik tahun 2023 menunjukkan hanya 33,76% instansi pemerintah yang masuk kategori “zona hijau” (tingkat pelayanan baik). Sisanya, masih dalam kategori buruk hingga sangat buruk.
Di bidang hukum, diskriminasi semakin terang. Contohnya, seorang warga Surabaya dipenjara karena mencuri sandal seharga Rp30.000, sedangkan koruptor miliaran rupiah bisa bebas bersyarat atau menerima remisi hari besar nasional. Ini bukan soal hukum, tapi keberpihakan sistem terhadap kekuasaan.
Pemerintah = Pelayan, Bukan Penguasa
Ironisnya, pejabat publik hari ini bertingkah seperti raja. Mereka lupa bahwa kekuasaan berasal dari mandat rakyat. Bahkan, prinsip demokrasi yang tertuang dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945, “Kedaulatan berada di tangan rakyat” telah kehilangan makna ketika rakyat hanya dianggap objek, bukan subjek negara yang tak punya arti khusus.
Anak-anak muda yang seharusnya menjadi generasi harapan, justru tumbuh dalam situasi penuh ketidakpercayaan terhadap negara. Survei Indikator Politik Indonesia (2024) menunjukkan 66,3% anak muda tidak percaya bahwa pemerintah mampu menyejahterakan rakyat secara adil. Ini angka yang mengkhawatirkan—bukan cuma karena menunjukkan krisis kepercayaan, tapi juga krisis masa depan.
Solusi Pemerintah Indonesia yang Mandul
Menurut Partai X, kerusakan negara ini bukan karena rakyat bodoh. Tapi karena sistem dikendalikan oleh “sopir ugal-ugalan” yang merasa memiliki negara. Padahal, rakyat adalah pemilik negara. Pemerintah hanya “sopir”, bukan pemilik. Jika sopir ngawur, kita berhak menggantinya. Jika busnya rusak, kita berhak memperbaikinya.
Berikut solusi konkret yang ditawarkan oleh Partai X untuk menyembuhkan sistem pemerintahan yang sudah kehilangan arah:
Solusi Penyembuhan Bangsa
- Amandemen Kelima UUD 1945 dengan acuan UUD 1945 yang asli agar kedaulatan dimiliki dan dikuasai oleh rakyat
- Reformasi Hukum melalui Sistem Kepakaran (Expert System)
- Reformasi Birokrasi melalui Transformasi Digital dengan Intelligent Operations Platform (IOP)
- Bubarkan Partai Politik yang tidak melakukan pendidikan politik
- Lakukan Pemaknaan Nilai-nilai Pancasila
- Melaksanakan Musyawarah Kenegarawan Nasional
- Membentuk Dewan Kedaulatan Rakyat Adhoc untuk mengawal Amandemen Kelima UUD 1945
- Melakukan Perubahan Sistem Negara dengan membedakan lembaga negara dan lembaga pemerintah
- Memasukkan Pendidikan Politik dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah, mengingat peran parpol tidak berjalan dalam pendidikan politik untuk menyiapkan generasi bermental negarawan
Bangsa ini tidak akan sembuh hanya dengan seruan moral atau slogan kosong. Dibutuhkan langkah struktural dan sistemik yang mengembalikan rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Kita tidak boleh lagi diam. Karena kalau kita diam, sistem busuk ini akan terus melahirkan ketidakadilan yang sama.
Kalau pemerintah sudah mandul, siapa lagi yang bisa melahirkan perubahan? Jawabannya: kita.