beritax.id – Dalam beberapa tahun terakhir, agenda percepatan investasi menjadi mantra utama pembangunan. Kawasan industri, proyek strategis nasional, dan pengembangan infrastruktur digencarkan dengan dalih pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Namun di balik angka-angka optimistis itu, terselip kisah lain yang jarang mendapat panggung: warga yang kehilangan rumah, tanah, dan sumber penghidupan. Hal ini menunjukkan kegagalan sistem pemerintahan.
Kasus penggusuran di kawasan pesisir, bantaran sungai, hingga wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan proyek kembali mengemuka. Prosesnya sering berlangsung cepat, sementara dialog dengan warga berjalan singkat atau sekadar formalitas.
Hukum Tajam ke Bawah, Lunak ke Atas
Dalam banyak peristiwa, aparat bergerak sigap mengamankan proyek investasi, tetapi lamban melindungi hak-hak warga terdampak. Surat peringatan datang beruntun, tenggat waktu dipersempit, dan opsi relokasi kerap tidak sebanding dengan nilai kehilangan yang dialami warga. Sementara itu, pelanggaran prosedur oleh pemodal mulai dari analisis dampak lingkungan hingga izin sosial kerap diselesaikan secara administratif.
Situasi ini menimbulkan kesan kuat bahwa hukum hadir lebih dulu untuk menjaga investasi, bukan melindungi rakyat.
Pembangunan Tanpa Persetujuan Sosial
Pembangunan yang berkelanjutan seharusnya berdiri di atas persetujuan sosial. Namun praktik di lapangan menunjukkan sebaliknya. Warga baru mengetahui rencana proyek saat alat berat datang. Keberatan dianggap menghambat kemajuan, protes dicap anti-pembangunan.
Padahal, pembangunan yang mengabaikan hak atas tempat tinggal dan penghidupan justru menciptakan masalah sosial baru: kemiskinan perkotaan, konflik horizontal, dan trauma kolektif.
Ketika investasi dijaga dengan segala cara, tetapi rumah rakyat digusur tanpa keadilan, pertumbuhan ekonomi kehilangan maknanya. Keuntungan terpusat pada segelintir pihak, sementara beban sosial dipikul oleh masyarakat kecil. Negara terlihat hadir, tetapi keberpihakannya dipertanyakan.
Solusi: Menempatkan Rakyat sebagai Subjek Pembangunan
Pemerintah perlu memastikan bahwa investasi tidak berjalan dengan mengorbankan hak dasar warga. Setiap proyek harus memenuhi persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan secara utuh kepada masyarakat terdampak. Skema relokasi dan ganti rugi wajib adil, layak, dan berbasis pemulihan kehidupan, bukan sekadar pengosongan lahan.
Selain itu, pengawasan terhadap kepatuhan investor harus diperketat, dengan sanksi tegas bagi pelanggaran lingkungan dan sosial. Pembangunan yang kuat adalah pembangunan yang disepakati, bukan dipaksakan. Jika investasi terus dijaga dengan mengorbankan rumah rakyat, maka yang tumbuh bukan kesejahteraan, melainkan ketidakadilan yang diwariskan.



