beritax.id – Narasi bahwa pemilu terlalu mahal kembali diangkat sebagai alasan untuk membatasi partisipasi rakyat dalam proses demokrasi. Biaya penyelenggaraan pemilu kerap dijadikan dalih untuk menggulirkan wacana pengalihan kewenangan memilih dari rakyat ke segelintir pejabat. Namun pertanyaan krusialnya adalah: apakah benar menghilangkan hak pilih rakyat merupakan “penghematan” yang layak dibayar oleh sebuah negara demokratis?
Jika harga demokrasi dianggap terlalu mahal, maka yang dipertaruhkan bukan sekadar anggaran, melainkan masa depan kedaulatan rakyat itu sendiri.
Pemilu memang membutuhkan biaya, tetapi biaya tersebut adalah investasi untuk memastikan legitimasi kekuasaan. Tanpa hak pilih, kekuasaan kehilangan dasar persetujuan rakyat dan berubah menjadi kewenangan administratif semata.
Kehilangan hak pilih mungkin terlihat “murah” secara fiskal, tetapi dampaknya sangat mahal secara sosial dan pemerintah.
Efisiensi yang Salah Arah
Alih-alih memperbaiki tata kelola pemilu agar lebih transparan, efisien, dan bebas dari pemborosan, sebagian pejabat justru memilih jalan pintas dengan mengurangi peran rakyat. Efisiensi semacam ini keliru karena menyasar substansi demokrasi, bukan sumber masalahnya.
Masalah biaya bukan terletak pada rakyat yang memilih, melainkan pada sistem pemerintahan yang mahal dan minim akuntabilitas.
Narasi pemilu mahal secara tidak langsung menempatkan rakyat sebagai beban demokrasi. Hak pilih diperlakukan sebagai sumber kerumitan, bukan sebagai fondasi negara. Cara pandang ini berbahaya karena membuka ruang legitimasi bagi pengerdilan kedaulatan rakyat. Negara yang sehat tidak takut pada suara rakyatnya sendiri.
Tanggapan Partai X: Hak Pilih Bukan Beban Negara
Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan, menegaskan bahwa pengorbanan hak pilih rakyat tidak pernah bisa dibenarkan dengan alasan efisiensi.
“Tugas negara itu ada tiga: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Semua itu harus berangkat dari kedaulatan rakyat. Jika hak pilih dianggap terlalu mahal, maka negara sedang gagal memahami tugas dasarnya. Demokrasi memang butuh biaya, tapi kehilangan hak pilih jauh lebih mahal bagi masa depan bangsa,” tegas Rinto.
Ia menambahkan bahwa negara seharusnya memperbaiki sistem, bukan memangkas hak warga.
Dampak Jangka Panjang bagi Demokrasi
Menyempitkan hak pilih akan memperlemah kontrol publik terhadap kekuasaan. Kepercayaan rakyat menurun, partisipasi melemah, dan ruang koreksi semakin sempit. Dalam jangka panjang, demokrasi bisa berubah menjadi formalitas tanpa legitimasi sosial.
Stabilitas yang dibangun tanpa persetujuan rakyat hanya akan rapuh dan sementara.
Solusi dan Rekomendasi
Untuk menjaga demokrasi tetap kuat tanpa mengorbankan hak rakyat, diperlukan langkah-langkah berikut:
- Menegaskan hak pilih sebagai prinsip yang tidak bisa ditukar dengan alasan anggaran
- Mereformasi tata kelola pemilu agar lebih efisien, transparan, dan akuntabel
- Menekan biaya melalui pengawasan pendanaan dan penegakan hukum
- Memperkuat pendidikan politik agar rakyat terlibat secara sadar dan aktif
- Menempatkan rakyat sebagai subjek demokrasi, bukan variabel penghematan
Partai X menegaskan, pemilu bukan sekadar pengeluaran negara, melainkan investasi untuk menjaga kedaulatan rakyat. Menghemat anggaran dengan mengorbankan hak pilih bukan solusi itu justru awal dari kemunduran demokrasi.



