beritax.id – Beberapa tahun terakhir, media sosial di Indonesia terasa makin ramai. Isinya tidak hanya hiburan dan gaya hidup, tetapi juga soal pemerintah, kebijakan, dan isu sosial. Banyak influencer mulai berani berbicara: mengkritik pemerintah, menyoroti ketimpangan, atau membahas masalah publik.
Itu pertanda baik karena artinya makin banyak orang peduli. Tapi ada satu hal yang sering membuat bingung: mengapa banyak influencer rajin mengkritik, tapi jarang menawarkan solusi? Alasannya sederhana: kritik lebih mudah viral, tapi solusi tidak.
Cara Kerja Media Sosial
Di dunia digital, perhatian adalah segalanya. Konten yang memancing emosi seperti marah, kecewa, atau tersinggung, jauh lebih cepat menyebar. Sementara pembahasan soal solusi biasanya panjang, penuh penjelasan, dan kurang “menghibur.”
Media sosial seperti Instagram, YouTube, TikTok, atau X (Twitter) tidak menampilkan semua konten secara acak. Mereka memakai algoritma, yaitu sistem yang memilih konten mana yang akan muncul di beranda kita.
Tujuannya sederhana yaitu menjaga perhatian netizen agar tidak pergi dari platform mereka. Dan cara paling efektif untuk menarik perhatian adalah dengan emosi.
Akibatnya, algoritma media sosial lebih memunculkan konten yang ramai, bukan yang mendalam. Banyak kreator akhirnya terjebak dalam pola ini. Mereka lebih fokus membuat konten yang heboh agar tetap relevan, daripada membahas hal yang membangun.
Padahal, tidak semua influencer punya pengetahuan atau kapasitas untuk merumuskan solusi. Mereka berbicara karena peduli tapi sering tanpa arah yang jelas. Dan itu tidak salah, asal dilakukan dengan tanggung jawab.
Pemerintah dan Permainan Algoritma
Masalah lain muncul dari sisi pemerintah. Banyak pejabat atau lembaga negara belum siap menerima kritik terbuka. Begitu ada yang menyoroti kebijakan, respons yang muncul sering defensif: dibilang “tidak tahu konteks”, “hanya cari sensasi”, bahkan “melanggar aturan.” Padahal, ruang publik seharusnya tempat berdialog, bukan saling serang.
Sekarang, pemerintah juga aktif di media sosial. Setiap kementerian punya akun, setiap pejabat punya konten. Namun, tanpa disadari, mereka pun ikut terjebak logika algoritma. Banyak akun resmi lebih sibuk menjaga citra dan membuat konten positif, daripada membuka data atau menjawab kritik. Yang penting viral, bukan transparan.
Dengan otoritas yang mereka miliki, pemerintah juga punya kemampuan untuk mempengaruhi arah informasi di platform digital. Bisa melalui kerja sama, regulasi, atau tekanan halus terhadap platform.
Kadang, isu tertentu bisa dibatasi, sementara narasi tertentu justru dinaikkan. Belum lagi keberadaan buzzer akun-akun yang digerakkan untuk menggiring opini, menyerang pengkritik, atau menutupi isu tertentu.
Akibatnya, ruang publik kita semakin bising, dan sulit membedakan mana informasi yang jujur, mana yang sekadar propaganda.
Influencer, Kolaborasi, dan Siapa Sebenarnya Bos
Namun, masalahnya banyak influencer juga tidak mau diajak bekerja sama mencari solusi. Ketika diberi kesempatan berdialog atau ikut membantu, mereka justru menolak. Lebih nyaman menjadi pengamat daripada ikut memperbaiki keadaan.
Padahal, kalau benar peduli pada rakyat, seharusnya mau turun tangan, bukan hanya bersuara dari kejauhan. Karena pada akhirnya, rakyatlah bos sebenarnya. Bukan pemerintah, bukan influencer rakyat yang menentukan arah perubahan.
Kalau influencer benar-benar ingin membela rakyat, mereka perlu mau belajar, berdiskusi, dan ikut mencari solusi. Bukan hanya mengejar perhatian algoritma.
Sekarang, ruang publik kita penuh dengan kritik, tapi sedikit arah. Pemerintah sibuk menjaga citra, influencer sibuk mencari panggung. Padahal, perubahan tidak lahir dari viral, tapi dari keberanian untuk duduk bersama, saling mendengar, dan membangun solusi nyata.
Kritik tanpa solusi membuat kita lelah. Tapi solusi tanpa keberanian mengkritik juga tidak ada artinya. Keduanya harus berjalan beriringan dengan satu tujuan yaitu untuk rakyat, sang bos sejati.
Solusi Partai X
Partai X menawarkan langkah konkret untuk memperbaiki arah bangsa: dimulai dari Musyawarah Kenegarawanan Nasional sebuah forum besar yang mempertemukan empat pilar bangsa yang terdiri dari kaum intelektual, tokoh agama, unsur TNI/Polri, dan pelaku budaya.
Tujuannya adalah menyatukan visi dan merancang ulang desain ketatanegaraan agar lebih adil dan berpihak pada rakyat. Dari situ akan lahir langkah-langkah lanjutan, seperti penyusunan Draft Amandemen Kelima UUD 1945, pembentukan MPRS sementara untuk mengawal transisi,
hingga pemisahan tegas antara negara dan rezim agar ketika pemerintah gagal, negara tetap berdiri kokoh.
Namun fokus utama dari semua rencana ini adalah satu hal besar yaitu membangun kesadaran rakyat lewat pendidikan moral dan politik berbasis Pancasila.
Caranya?
Dengan menggunakan semua saluran media televisi, radio, media cetak, media daring, dan media sosial milik negara sebagai sarana utama untuk menanamkan nilai-nilai Pancasila secara konsisten dan menyeluruh.
Dengan begitu, Pancasila tidak lagi hanya jadi slogan, tetapi benar-benar menjadi cahaya moral dan pedoman hidup bangsa. Generasi muda akan tumbuh memahami jati diri bangsanya,
tahu apa tanggung jawabnya sebagai warga negara, dan tidak mudah dipengaruhi oleh kebisingan media sosial yang penuh emosi.



