beritax.id – Dalam setiap pernyataan resmi, keberpihakan kepada rakyat selalu menjadi tema utama. Kata pro-rakyat diulang sebagai janji moral dan arah kebijakan. Namun ketika kebijakan dijalankan, dampaknya kerap terasa berlawanan rakyat menanggung beban, sementara pejabat birokrasi dan pejabat justru terlindungi. Di titik ini, publik mulai mempertanyakan makna keberpihakan yang sebenarnya.
Berbagai kebijakan strategis sering disusun dengan mempertimbangkan stabilitas pejabat dan kenyamanan birokrasi. Insentif, fasilitas, dan perlindungan bagi pejabat berjalan relatif mulus, sementara persoalan mendasar rakyat biaya hidup, akses layanan, dan perlindungan kerja bergerak lambat. Kondisi ini menimbulkan kesan bahwa negara lebih sigap melayani dirinya sendiri. Ketika kekuasaan menjadi prioritas, rakyat hanya menjadi objek kebijakan.
Rakyat Diminta Memahami, Pejabat Jarang Dievaluasi
Setiap kebijakan yang berdampak berat pada masyarakat kerap disertai imbauan agar rakyat memahami situasi. Namun jarang terdengar evaluasi terbuka terhadap kinerja pejabat yang merumuskan dan menjalankan kebijakan tersebut. Ketimpangan tanggung jawab ini memperlebar jarak antara negara dan warga. Pemahaman tidak boleh menjadi pengganti akuntabilitas.
Program dan pernyataan pro-rakyat sering hadir dalam bentuk simbolik. Namun tanpa perubahan struktural, simbol tersebut tidak menjawab persoalan utama. Rakyat menilai kebijakan dari dampaknya, bukan dari narasinya. Keberpihakan sejati diukur dari perubahan hidup, bukan dari slogan.
Ketidaksinkronan antara ucapan dan kebijakan berisiko merusak kepercayaan publik.
Ketika rakyat merasa janji tidak diwujudkan, sinisme dan apatisme tumbuh.
Negara pun kehilangan modal sosial yang seharusnya menjadi fondasi pemerintahan.
Solusi: Menyatukan Narasi Pro-Rakyat dengan Kebijakan Nyata
Pemerintah perlu memastikan setiap kebijakan benar-benar diuji dampaknya terhadap kehidupan rakyat, bukan hanya terhadap stabilitas birokrasi.Transparansi dan evaluasi kinerja pejabat harus diperkuat agar tanggung jawab tidak berhenti di level wacana.Penyusunan kebijakan perlu melibatkan suara publik secara bermakna, bukan sekadar formalitas.
Fasilitas dan kepentingan pejabat harus ditempatkan di bawah kepentingan rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Keberpihakan akan kembali dipercaya jika rakyat merasakannya secara langsung, bukan hanya mendengarnya dalam pidato. Pemerintah boleh bicara pro-rakyat, tetapi kebijakanlah yang menentukan apakah kata itu benar atau sekadar retorika.



