Tangerang Selatan – Pajak merupakan tulang punggung penerimaan negara. Namun, di balik tujuan mulia tersebut, proses penegakan hukum perpajakan seharusnya tetap berlandaskan prinsip keadilan, kepastian hukum, dan penghormatan terhadap hak warga negara. Sayangnya, sebuah perkara sengketa pajak yang kini bergulir di Pengadilan Pajak kembali membuka luka lama: ketimpangan relasi kuasa antara Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Wajib Pajak.
Kasus yang melibatkan seorang wajib pajak orang pribadi, Johan Antonius, menghadirkan gambaran nyata bagaimana prosedur pemeriksaan pajak diduga dijalankan secara serampangan, tidak patut, dan bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sengketa ini bukan semata soal angka pajak, melainkan soal keadilan administratif dan perlindungan hak konstitusional warga negara.
Pemeriksaan Pajak Tanpa Penyampaian yang Sah
Permasalahan bermula dari pemeriksaan pajak tahun pajak 2020 yang dilakukan oleh DJP. Dalam ketentuan hukum pajak, pemeriksaan tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang. Penyampaian Surat Perintah Pemeriksaan (SP2) dan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan (SP2L) merupakan syarat mutlak yang menentukan sah atau tidaknya suatu pemeriksaan.
Namun, dalam perkara ini, DJP mengklaim telah menyampaikan SP2 dan SP2L kepada Wajib Pajak. Fakta di lapangan justru menunjukkan hal sebaliknya. Dokumen tersebut tidak pernah diterima langsung oleh pihak yang diperiksa, melainkan diberikan kepada orang tua Wajib Pajak yang secara hukum tidak memiliki kuasa untuk mewakili anaknya dalam urusan perpajakan
Bantahan atas Surat Tanggapan J…
.
Padahal, hukum dengan tegas mengatur bahwa Wajib Pajak yang telah dewasa dan cakap hukum hanya dapat diwakili oleh pihak lain berdasarkan surat kuasa khusus. Tindakan DJP yang menyerahkan dokumen penting pemeriksaan kepada pihak yang tidak berwenang menimbulkan pertanyaan serius: apakah prosedur hanya formalitas belaka?
Manipulasi Prosedur dan Dugaan Penyesatan Fakta
Ketidakadilan tidak berhenti pada penyampaian dokumen. Dalam proses pemeriksaan, Wajib Pajak hadir ke kantor pajak pada tanggal tertentu dengan maksud menyerahkan dokumen pendukung. Namun, kehadiran tersebut kemudian dicatat oleh DJP sebagai pemberian keterangan resmi dalam Berita Acara Pemberian Keterangan (BAPK).
Masalahnya, Wajib Pajak tidak pernah diberi penjelasan bahwa dokumen yang ditandatangani adalah BAPK. Ia mengira dokumen tersebut hanyalah tanda terima penyerahan berkas. Fakta ini menimbulkan dugaan serius adanya penyesatan dan manipulasi prosedural, di mana tanda tangan Wajib Pajak digunakan untuk membenarkan proses pemeriksaan yang secara substansial tidak pernah terjadi
Jika dugaan ini benar, maka yang terjadi bukan sekadar kelalaian administratif, melainkan pelanggaran asas kejujuran dan itikad baik oleh aparat negara.
SPHP yang Tak Pernah Diterima, Tapi Dianggap Sah
Tahapan krusial lain dalam pemeriksaan pajak adalah penyampaian Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP). SPHP memberi ruang bagi Wajib Pajak untuk mengetahui hasil temuan pemeriksa dan menyampaikan keberatan sebelum diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak.
Namun dalam perkara ini, SPHP diklaim telah disampaikan dan bahkan ditandatangani oleh Wajib Pajak. Yang mengejutkan, Wajib Pajak dengan tegas menyatakan tidak pernah menerima, melihat, apalagi menandatangani SPHP tersebut. DJP juga tidak mampu menunjukkan bukti tanda terima yang sah
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai keabsahan tanda tangan dan transparansi proses pemeriksaan. Tanpa SPHP yang sah, seluruh hasil pemeriksaan seharusnya batal demi hukum, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Undangan Pembahasan Akhir yang Cacat Prosedur
Hak Wajib Pajak berikutnya yang terabaikan adalah hak untuk menghadiri Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan (PAHP). DJP mengaku telah mengundang Wajib Pajak melalui jasa ekspedisi. Padahal, peraturan secara limitatif hanya membolehkan undangan disampaikan secara langsung atau melalui faksimile, kecuali Wajib Pajak menunjuk kuasa.
Alih-alih memastikan kehadiran pihak yang diperiksa, DJP justru menyampaikan undangan kepada orang tua Wajib Pajak yang tidak memiliki surat kuasa. Ketika orang tua tersebut hadir tanpa kuasa, DJP menolak pembahasan dan menyatakan Wajib Pajak dianggap tidak hadir. Sikap ini menunjukkan kontradiksi logika dan penerapan hukum yang tidak konsisten
Surat Ketetapan Pajak dan Surat Paksa yang Prematur
Puncak dari rangkaian ketidakadilan ini adalah diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dan bahkan Surat Paksa senilai lebih dari Rp10 miliar, tanpa pernah dipastikan bahwa SKPKB tersebut diterima secara sah oleh Wajib Pajak.
Surat Paksa sejatinya merupakan instrumen penagihan paling keras dalam hukum pajak. Penerbitannya mensyaratkan adanya utang pajak yang telah jatuh tempo dan diberitahukan secara patut. Ketika SKP saja tidak pernah diterima, maka tindakan penagihan aktif tersebut patut diduga sebagai tindakan prematur dan melanggar hukum
Potret Buram Penegakan Hukum Pajak
Kasus ini mencerminkan persoalan yang lebih luas dari sekadar sengketa individual. Ia menunjukkan bagaimana kekuatan administratif negara dapat berubah menjadi alat penindasan, ketika prosedur diperlakukan sebagai formalitas dan bukan sebagai jaminan perlindungan hak warga negara.
Pajak memang kewajiban, tetapi keadilan adalah hak. Negara tidak boleh menuntut kepatuhan dengan cara melanggar hukum yang dibuatnya sendiri. Jika praktik semacam ini dibiarkan, maka kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan akan terus terkikis.
Menunggu Peran Pengadilan Pajak
Kini, harapan terakhir berada di tangan Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Putusan dalam perkara ini tidak hanya menentukan nasib seorang Wajib Pajak, tetapi juga akan menjadi preseden penting bagi penegakan hukum pajak di Indonesia.
Apakah hukum akan berdiri sebagai penjaga keadilan, atau justru tunduk pada kekuasaan administratif? Jawabannya akan menentukan arah masa depan sistem perpajakan nasional.



