beritax.id – PLTA Batang Toru sejak awal dipromosikan sebagai proyek kebanggaan nasional ikon energi hijau, energi bersih, dan transisi menuju masa depan rendah emisi. Namun realitas di lapangan berkata lain. Alih-alih menjadi simbol kemajuan, proyek ini justru meninggalkan jejak luka ekologis dan sosial yang semakin terlihat jelas setelah bencana besar melanda Tapanuli pada 2025.
Sebelum pembangunan dimulai, Batang Toru adalah benteng alami yang menjaga kestabilan air dan tanah di Sumatera Utara.
Namun proses pembangunan PLTA mengubah wajah kawasan itu secara drastis:
- lebih dari 70 ribu hektare hutan hilang,
- lereng-lereng bukit dipapas untuk jalan akses dan terowongan,
- sungai alami dialihkan,
- habitat Orangutan Tapanuli terfragmentasi,
- dan daya serap air hutan berkurang tajam.
Ketika hutan kehilangan kemampuannya menjaga air, banjir bandang bukan lagi potensi melainkan kepastian.
Bencana Tapanuli: Realitas yang Tak Bisa Lagi Ditutup dengan Narasi Energi Hijau
Longsor dan banjir bandang yang menghantam Tapanuli pada 2025 menunjukkan bahwa proyek di hulu dan penderitaan di hilir memiliki hubungan langsung. Arus air yang menghanyutkan rumah, jembatan, bahkan nyawa, membawa pesan yang tidak bisa dibantah: kerusakan ekosistem di Batang Toru memperparah skala bencana.
Namun narasi resmi justru mengalihkan perhatian pada cuaca ekstrem, seakan-akan alam bekerja sendirian tanpa campur tangan manusia. Ironinya, proyek yang digembar-gemborkan sebagai solusi masa depan justru menjadi bagian dari masalah masa kini.
Pemerintah Daerah Menutup Mata dari Akar Masalah
Gubernur Sumatera Utara menyatakan banjir disebabkan curah hujan tinggi, bukan deforestasi. Sikap ini bukan hanya keliru secara ilmiah, tetapi juga:
- meredam urgensi evaluasi izin,
- membuat perusahaan-perusahaan besar tetap merasa aman,
- menghambat kebijakan pemulihan ekologis,
- dan menenangkan kritik publik tanpa memecahkan masalah.
Ketika bencana menghantam warga, pemerintah daerah justru memilih menyangkal kontribusi kerusakan lingkungan sebuah sikap yang memperpanjang derita masyarakat.
Ironi Terbesar: Proyek Hijau yang Menghitamkan Masa Depan
PLTA seharusnya menjadi sumber energi yang ramah lingkungan.
Namun di Batang Toru, “hijau” menjadi jargon kosong karena:
- proyek dibangun di kawasan paling sensitif hidrologinya,
- ekosistem rusak lebih dulu sebelum listrik dihasilkan,
- masyarakat lokal tidak menjadi penerima manfaat utama,
- dan risiko bencana justru meningkat.
Energi boleh hijau, tetapi proses yang merusak alam akan tetap membawa konsekuensi gelap.
Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X Institute Prayogi R. Saputra memberi tanggapan keras:
“Tugas negara itu tiga: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Tapi ketika negara menyebut proyek ini hijau tetapi mengabaikan kerusakannya, maka tiga tugas itu tidak dijalankan.”
Ia menegaskan bahwa energi hijau tidak boleh menjadi topeng untuk membenarkan eksploitasi.
“Jika rakyat di hilir menderita akibat proyek yang disebut hijau, itu bukan transisi energi itu kegagalan moral pemerintah.”
Solusi: Energi Berkelanjutan Harus Sejalan dengan Keamanan Ekologis
Partai X menawarkan langkah konkret untuk memastikan proyek energi tidak lagi merusak lingkungan dan mengorbankan rakyat:
- Audit menyeluruh PLTA Batang Toru oleh tim independen
Meliputi dampak hidrologi, stabilitas tanah, dan risiko jangka panjang. - Revisi lokasi dan metode konstruksi proyek energi di daerah rawan
Proyek harus menyesuaikan ekologi, bukan memaksa ekologi menyesuaikan proyek. - Moratorium proyek baru di kawasan bernilai konservasi tinggi
Termasuk hulu DAS dan habitat satwa kritis. - Program restorasi besar-besaran di Batang Toru dan Tapanuli
Fokus pada pemulihan fungsi ekologi, bukan penanaman seremonial. - Sistem mitigasi bencana modern
Berbasis data ilmiah, bukan keputusan yang terlambat. - Transparansi penuh dalam AMDAL, kajian risiko, dan aliran dana proyek
Publik berhak tahu apa yang dipertaruhkan.
PLTA Batang Toru mengungkap ironi besar dalam pembangunan Indonesia: label “hijau” tidak otomatis menjamin keselamatan rakyat maupun kelestarian alam. Jika negara hanya mengejar megawatt tetapi mengabaikan ekosistem dan manusia yang hidup di dalamnya, maka pembangunan itu kehilangan tujuan moralnya.
Energi hijau seharusnya menghidupkan harapan, bukan menciptakan duka. Sudah saatnya pemerintah meluruskan arah agar masa depan energi tidak dibayar dengan kerusakan ekologis dan korban manusia.



