beritax.id – Dalam banyak peristiwa nasional, pemerintah kerap tampil sebagai institusi yang seolah paling benar, paling tahu, dan paling layak dipercaya. Pernyataan demi pernyataan muncul untuk menenangkan publik, menjelaskan keadaan, atau bahkan membantah kritik. Namun masalahnya, realitas di lapangan terlalu sering berkata lain. Fakta membawa suara yang tidak bisa dibantah suara yang sering menggugurkan narasi resmi.
Ketika jarak antara ucapan dan kenyataan semakin lebar, publik mulai meragukan siapa sebenarnya yang harus dipercaya.
Ketika Fakta Menolak Dibungkam
Dalam banyak isu, publik tidak lagi sepenuhnya bergantung pada pemerintah untuk mengetahui apa yang terjadi. Media, pakar independen, dan warga biasa yang memegang ponsel menjadi saksi langsung terhadap berbagai ketimpangan, kegagalan kebijakan, atau penanganan yang tidak tepat. Ketika pemerintah berupaya membentuk persepsi, fakta di lapangan justru menampar balik narasi tersebut dengan keras. Fakta tidak tunduk pada kehendak kekuasaan ia berdiri sendiri, apa adanya.
Salah satu hal yang membuat publik semakin kritis adalah pola pembelaan pemerintah yang cenderung tidak konsisten. Ketika ada keberhasilan, pemerintah menepuk dada. Ketika ada kesalahan, alasan demi alasan dilontarkan: dari keterbatasan anggaran, dinamika global, hingga salah masyarakat sendiri. Padahal, fakta menunjukkan bahwa banyak persoalan muncul bukan karena faktor luar, melainkan akibat buruknya tata kelola dan lemahnya pengawasan. Rakyat bisa memahami kesulitan, tetapi tidak bisa menerima inkonsistensi.
Kepercayaan Publik Rapuh Karena Pernyataan Tidak Sejalan dengan Bukti
Dalam sistem demokrasi, kepercayaan publik adalah energi utama pemerintah. Namun energi itu akan habis bila pemerintah lebih sibuk membangun citra daripada memperbaiki keadaan. Setiap pengingkaran fakta, setiap pernyataan yang tidak sesuai dengan kenyataan, memperbesar jurang ketidakpercayaan. Ketika jurang itu semakin dalam, pemerintah kehilangan legitimasi moralnya. Negara tidak bisa berjalan jika rakyat tidak mempercayai kata-kata para pemimpinnya.
Fakta pada Akhirnya Selalu Menang
Sejarah selalu menunjukkan satu hal: tidak ada narasi kekuasaan yang mampu mengalahkan kenyataan. Fakta mungkin bisa dipelintir sesaat, tetapi tidak bisa dipadamkan selamanya. Pada akhirnya, publik akan menilai berdasarkan apa yang mereka lihat, bukan apa yang mereka dengar. Fakta adalah penguji paling jujur terhadap kualitas penyelenggaraan negara.
Solusi: Pemerintah Harus Berhenti Berlindung di Balik Retorika
Untuk memulihkan kepercayaan publik, pemerintah perlu mengubah cara berkomunikasi dan cara bekerja. Pemerintah harus mengedepankan transparansi: mengungkapkan kondisi sebenarnya, termasuk kekurangan dan kesalahan, tanpa menutupi atau memutarbalikkan. Setiap kebijakan harus berbasis data yang terbuka untuk diuji publik, bukan sekadar klaim sepihak. Pemerintah harus membangun sistem pengawasan yang memungkinkan kritik masuk tanpa dianggap ancaman, karena kritik adalah bagian dari proses perbaikan. Selain itu, aparatur negara harus dibina untuk mengedepankan profesionalisme, integritas, dan keberanian menghadapi kenyataan, bukan sekadar menjaga pencitraan. Dengan kesungguhan menerima dan merespons fakta, pemerintah dapat membangun kembali kepercayaan yang selama ini terkikis.
Kesimpulan: Kebenaran Tidak Perlu Pembelaan, Cukup Konsistensi
Pemerintah boleh saja membangun narasi, tetapi publik akan selalu menilai dari hasil. Ketika fakta berkata lain, narasi kehilangan maknanya. Republik hanya dapat berdiri kokoh jika pemerintah jujur kepada rakyat jujur melihat masalah, jujur mengakui kekurangan, dan jujur memperbaikinya.
Pada akhirnya, kebenaran tidak berpihak pada kekuasaan. Ia berpihak pada siapa pun yang berani melihat realitas apa adanya.



