Negara Indonesia yang ideal bisa kita bayangkan seperti sebuah keluarga yang bahagia. Dalam keluarga, setiap orang punya peran ada yang memimpin, ada yang mengurus, ada yang menjaga. Semuanya saling melengkapi agar hidup harmonis. Begitu juga negara. Setiap lembaga harus berfungsi sesuai tugasnya agar rakyat hidup adil dan sejahtera.
Kondisi Ideal Negara Indonesia Seperti Keluarga Bahagia
Dalam rumah tangga, suami adalah kepala keluarga dan istri kepala rumah tangga. Dari keduanya lahirlah anak-anak, harapan masa depan. Terbentuklah suatu keluarga. Di dalamnya, ada juga asisten rumah tangga (ART) yang membantu pekerjaan, serta satpam yang menjaga keamanan. Semua berjalan baik bila perannya jelas dan saling menghormati.
- Dalam kehidupan bernegara, suami melambangkan MPR, penentu arah dan cita-cita bangsa. Tapi agar mampu menjalankan perannya, MPR harus diisi oleh negarawan sejati yang berilmu, berbudaya, dan berakhlak.
- Istri melambangkan rakyat, pusat kehidupan bangsa. Dari rakyat lahir aspirasi dan harapan, sehingga rakyat tak boleh dipinggirkan.
- Dari hubungan keduanya lahirlah lima anak bernama Pancasila, buah hati bangsa yang harus dijaga dan diwariskan dari generasi ke generasi.
- Presiden ibarat ART, bukan kepala keluarga, tapi pelaksana yang mengurus dan melayani sesuai arahan MPR dan rakyat. Presiden tidak boleh sewenang-wenang, karena tugasnya adalah melayani, bukan berkuasa.
- Partai politik seperti agen ART, yang seharusnya menyiapkan asisten berkualitas, bukan sekadar menyalurkan kepentingan.
- TNI dan Polri adalah satpam keluarga. Di mana, TNI menjaga dari ancaman luar, Polri dari gangguan dalam rumah.
Jika semua peran berjalan selaras, keluarga bangsa hidup rukun. Suami bijak, istri bahagia, anak-anak tumbuh sehat, ART bekerja tulus, agen bertanggung jawab, dan satpam menjaga dengan setia. Maka terwujudlah keluarga besar Indonesia yang adil, sejahtera, dan bermartabat.
Kondisi Negara Indonesia Saat Ini Seperti Keluarga Broken Home
Sejak amandemen UUD 1945, posisi MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi. Tujuannya bagus yaitu agar kekuasaan lebih merata. Tapi hasilnya, justru muncul ruang kosong, di mana pengawasan melemah, tanggung jawab kabur, dan arah bangsa kehilangan kendali.
Negara pun seperti keluarga broken home.
- Rakyat sebagai istri sering diabaikan.
- Suami, yaitu MPR, malah “berselingkuh” dengan presiden, sang kepala ART. Rakyat terluka, anak-anak alias Pancasila terabaikan, dan rumah tangga bangsa kehilangan kasih sayang serta arah.
- Presiden yang seharusnya melayani, justru berkuasa.
- DPR, sang pengawas, kerap ikut diam atau bahkan menikmati keadaan.
- Partai politik, agen ART, sibuk dengan keuntungan sendiri.
- Sementara TNI dan Polri terjebak menjaga status quo.
Akibatnya, keadilan sulit ditemukan, kekayaan Indonesia tergerus, dan kesejahteraan rakyat merosot. Indonesia berubah menjadi keluarga broken home yang retak, kehilangan fondasi, dan anggotanya tak lagi saling melindungi.
Solusi
Memperbaiki negara sama seperti menyembuhkan keluarga yang retak. Masalah utama bukan di ART (presiden), tapi di hubungan antara suami dan istri alias antara MPR dan rakyat. MPR harus kembali “menikah” dengan rakyat dan harus setia, melindungi, dan bekerja demi kepentingan rakyat. Tanpa itu, semua perubahan tidak akan berarti.
- Rakyat harus kembali jadi pusat kedaulatan, bukan korban kejahatan pemerintah.
- Pancasila, anak bangsa, harus dijaga dan ditanamkan dalam setiap kebijakan agar nilai-nilainya benar-benar hidup.
- Presiden harus kembali ke peran sejatinya: melayani, bukan memerintah.
- DPR mesti menjalankan fungsi pengawasan dengan jujur, di bawah arahan MPR.
- Partai politik wajib jadi agen yang mendidik dan menyeleksi calon pemimpin terbaik, bukan pengendali kekuasaan.
- TNI dan Polri cukup fokus menjaga keamanan luar dan dalam rumah untuk melindungi rakyat.
- Lembaga tinggi negara pun harus independen, menjadi benteng terakhir bagi keadilan rakyat.
Jika peran ini dijalankan dengan benar, maka keluarga negara akan kembali harmonis. Rakyat terlindungi, keadilan ditegakkan, dan Indonesia berdiri sebagai keluarga yang bahagia.
Apakah Ganti Presiden Sudah Cukup?
Banyak orang mengira, cukup ganti presiden maka keadaan negara akan membaik. Padahal, masalah utama bukan di presiden, tapi di MPR, sang suami. Kini MPR justru “menikah” dengan presiden, bukan dengan rakyat. Akibatnya, meskipun asistennya diganti, struktur keluarga tetap salah dan rumah tangga tetap rapuh.
Agen ART, yaitu partai politik, juga punya andil besar. Mereka memegang kendali penuh dalam menyeleksi calon presiden termasuk DPR yang notabene-nya pengawas rumah tangga. Sehingga, hubungan “terlarang” antara MPR dan presiden tetap berlanjut.
TNI dan Polri, satpam keluarga, sibuk menjaga status quo daripada melindungi rakyat. Akibatnya, rakyat tidak merasa aman.
Sementara Pancasila, anak-anak dari rumah tangga MPR dan Rakyat, ikut terabaikan. Anak-anak ini tumbuh tanpa bimbingan. Nilai-nilai dasar bangsa pun perlahan memudar. Karena itu, kuncinya bukan sekadar ganti presiden, tapi memulihkan hubungan MPR dan rakyat.
Apakah Menunggu Pemilu Sudah Cukup?
Sebagian orang mungkin berpikir, cukup menunggu pemilu lima tahunan.
Bayangkan ada suami selingkuh dengan ART. Lalu istri hanya berkata, “Tidak apa-apa, kita tunggu lima tahun lagi untuk ganti ART, siapa tahu ada perubahan.”
Lantas, apakah keluarga itu akan sembuh hanya dengan mengganti asisten? Tentu tidak. Selama hubungan antara suami dan istri tidak dipulihkan, rumah tangga tetap kacau, anak-anak tetap terlantar, dan masalah makin dalam.
Begitu pula dengan negara.
Menunggu pemilu tanpa perbaikan sistem membuat partai politik, agen ART, terus memegang kendali. Mereka yang menentukan siapa calon presiden, sementara rakyat cuma jadi penonton di rumahnya sendiri.
DPR, TNI, dan Polri pun tak otomatis berubah hanya karena pergantian presiden. Tanpa fondasi kuat dan arah dari MPR, pengawasan dan perlindungan terhadap rakyat tetap lemah.
Jadi, menunggu pemilu tanpa memperbaiki sistem sama saja seperti membiarkan keluarga broken home tetap retak selama lima tahun, lalu berharap semuanya sembuh hanya karena mengganti asisten.
Yang dibutuhkan bukan menunggu, tapi memperbaiki pernikahan antara MPR dan rakyat sekarang juga. Jika MPR kembali setia pada rakyat, presiden akan bekerja melayani, DPR mengawasi dengan benar, partai politik berhenti jadi penguasa, dan Pancasila kembali hidup sebagai jiwa bangsa.
Barulah keluarga negara bisa menjadi keluarga bahagia.



