beritax.id – Abad ke-18, Prancis punya ratu bernama Marie Antoinette. Saat rakyat kelaparan, ia berkata, “Kalau tidak ada roti, makanlah kue.” Kalimat arogan itu jadi simbol jauhnya penguasa dari rakyat. Tak lama, amarah meledak, guillotine bicara, dan tirani berakhir berdarah.
Kini, kisah itu seolah terulang. Bukan di Versailles, tapi di Jakarta. Menteri Keuangan Sri Mulyani dengan enteng menyamakan pajak dengan zakat. Saat rakyat terjepit harga dan gaji pas-pasan, ia berkata manis: “Pajak kembali ke rakyat.” Pertanyaannya: benarkah begitu? Atau justru pajak hanya jadi pesta pejabat, sementara rakyat dapat remah?
Sejarah mengajarkan: Marie Antoinette jatuh bukan karena musuh asing, tapi karena buta pada penderitaan rakyat. Indonesia tentu berbeda dengan Prancis abad ke-18, tapi rakyat di mana pun tak akan diam bila lapar dan dihina. Sri Mulyani harus memilih: mau dikenang sebagai pelayan rakyat, atau simbol arogansi?
Siapa Marie Antoinette?
Marie lahir di Austria tahun 1755, putri seorang permaisuri yang berkuasa. Di usia 14 tahun, ia dikirim ke Prancis untuk menikah dengan Louis, calon raja Prancis. Awalnya, ia hanyalah seorang gadis lugu yang berusaha menyesuaikan diri. Tapi ketika akhirnya Louis naik takhta, Marie resmi menjadi Ratu Prancis… dan hidupnya berubah selamanya.
Sebagai ratu, ia gemar pesta, mode, dan kemewahan. Gaun-gaunnya jadi buah bibir, gaya rambutnya jadi tren, tapi juga bahan ejekan. Rakyat Prancis kala itu sedang kelaparan dan hidup miskin, sedangkan ratunya tampil begitu boros. Julukan “Madame Déficit” pun melekat padanya.
Lalu, muncul gosip-gosip kejam. Salah satunya, skandal kalung berlian yang membuat namanya semakin tercoreng. Dan tentu saja, kalimat legendaris “Biarkan mereka makan kue” yang sebenarnya tak pernah ia ucapkan tetap melekat sampai sekarang.
Tahun 1789, gelombang besar Revolusi Prancis meletus. Rakyat bangkit, marah pada raja dan ratu yang dianggap tak peduli. Marie dan keluarganya dipaksa pindah ke Paris, hidup dalam pengawasan ketat. Mereka sempat mencoba melarikan diri, tapi gagal. Kepercayaan rakyat benar-benar hilang.
Tak lama kemudian, monarki runtuh. Louis XVI dihukum mati. Beberapa bulan setelah itu, giliran Marie Antoinette menghadapi pengadilan. Ia dituduh berkhianat pada negeri yang pernah dipimpinnya.
Pada pagi 16 Oktober 1793, seorang wanita berusia 37 tahun dibawa ke guillotine. Rambutnya dipotong, wajahnya pucat, tapi langkahnya tegap. Beberapa saat kemudian, kepala Marie Antoinette jatuh dan sorak-sorai rakyat memenuhi udara Paris.
Namun, kisahnya tidak berhenti di sana. Hingga hari ini, nama Marie Antoinette terus diperdebatkan: apakah ia hanya ratu boros yang tak peduli penderitaan rakyat… atau seorang perempuan muda yang terjebak di tengah badai konflik pemerintahan dan fitnah?
Begitulah kisah seorang ratu yang hidupnya berakhir tragis, tetapi namanya abadi dalam sejarah.
Negara Bisa Runtuh Karena Arogansi
Pernyataan Sri Mulyani yang menyamakan pajak dengan zakat menunjukkan hilangnya rasa percaya dari publik. Zakat adalah ibadah suci, sementara pajak kewajiban negara yang sering disalahgunakan. Menyamakan keduanya bukan hanya keliru, tapi melukai rakyat.
Rakyat butuh pejabat yang mau merasakan penderitaan mereka, bukan pejabat yang hidup mewah sambil bicara soal pengorbanan. Menteri boleh cerdas, tapi tanpa empati, kecerdasan hanya jadi kesombongan. Dan ketika kesombongan yang memimpin, rakyatlah yang jadi korban.
Banyak negara besar runtuh bukan karena serangan luar, tapi karena pemimpin arogan dan korup. Hari ini Indonesia berjalan di jalur berbahaya: pajak menekan rakyat kecil, harga melambung, korupsi merajalela. Sementara pejabat sibuk menambah fasilitas, menyamakan pajak dengan zakat, bahkan menembakkan gas air mata ke rakyat.
Mereka lupa rakyatlah pemilik negeri, pemerintah hanya mandat sementara. Jika kepercayaan rakyat hilang, negara bisa runtuh tanpa perlu satu peluru pun.
Solusi Partai X
Perubahan perlu langkah nyata:
- Musyawarah Kenegarawanan Nasional oleh 4 Pilar Negara, meliputi Kaum Intelektual, Kaum Agama, Kaum TNI/Polri, dan Kaum Budaya sebagai ruang persatuan visi bangsa untuk membuat desain Struktur Ketatanegaraan yang baru.
- Membuat draft Amandemen Kelima UUD 1945 untuk mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat.
- Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) untuk mengawal transisi dan mengesahkan Amandemen Kelima UUD 1945.
- Pemisahan tegas negara dan pemerintah agar negara tak ikut runtuh bersama rezim.
- Pemaknaan ulang Pancasila sebagai pedoman operasional, bukan slogan.
- Pembubaran partai politik yang tidak mendidik rakyat.
- Reformasi hukum berbasis kepakaran agar hukum tidak lagi bisa dibeli.
- Transformasi birokrasi digital untuk memutus rantai korupsi.
- Pendidikan politik di sekolah agar generasi berikutnya tidak buta konstitusi.
- Menggunakan media cetak, televisi, radio, media online, dan media sosial milik negara sebagai sarana utama untuk menyebarluaskan pendidikan moral dan politik berbasis Pancasila. Dengan begitu, nilai-nilai Pancasila dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat secara luas dan konsisten, memperkuat kesadaran ideologi generasi muda, serta menanamkan rasa tanggung jawab sebagai warga negara.



