Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI)
beritax.id – Pengadilan adalah tempat rakyat mencari kebenaran dan keadilan. Namun, apa jadinya bila lembaga yang seharusnya menjadi wasit independen justru berfungsi sebagai perpanjangan tangan fiskus? Apa jadinya jika ruang sidang bukan lagi tempat mencari keadilan, tapi hanya panggung legalitas untuk membenarkan target penerimaan negara?
Itulah potret getir yang kami saksikan di Pengadilan Pajak Indonesia, lembaga yang kini semakin kehilangan ruh keadilannya, dan berubah menjadi mesin rasionalisasi fiskal demi APBN.
Hakim-Hakim yang Tak Lagi Netral
Salah satu akar persoalan yang jarang disorot publik adalah asal-usul para hakim pengadilan pajak itu sendiri.
Mayoritas dari mereka merupakan mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) atau mantan pejabat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Artinya, sebelum duduk di kursi hakim, mereka pernah berada di sisi “terbanding” maupun “tergugat” pihak yang kini sering mereka hadapi di ruang sidang.
Bayangkan seorang mantan pegawai DJP memutus perkara antara wajib pajak dan DJP.
Bisakah kita berharap objektivitas penuh dari seseorang yang secara karier, jejaring, bahkan pola pikirnya, dibentuk di lingkungan lembaga yang kini menjadi pihak tergugat?
Kondisi ini jelas menimbulkan konflik kepentingan sistemik (systemic conflict of interest) yang melemahkan integritas putusan. Apalagi dalam konteks budaya birokrasi yang masih menjunjung loyalitas korps di atas asas keadilan universal.
12 Dugaan Pelanggaran Majelis Hakim Pengadilan Pajak
Dari hasil pengamatan dan pendampingan IWPI terhadap berbagai perkara, termasuk kasus CV Rose Selular melawan DJP, kami menemukan pola yang mengkhawatirkan, 12 indikasi pelanggaran prinsip keadilan oleh sejumlah majelis hakim Pengadilan Pajak:
- Majelis tidak mempertimbangkan seluruh bukti dan fakta persidangan dalam putusannya.
- Majelis bersikap seolah menjadi juru bicara pihak terbanding (DJP).
- Aspek legalitas kuasa tergugat diabaikan.
- Permohonan menghadirkan ahli secara onsite ditolak tanpa alasan yang proporsional.
- Sidang ditutup tergesa-gesa meski masa pemeriksaan masih panjang.
- Hakim hanya berpegang pada peraturan perpajakan, tanpa menimbang norma administrasi pemerintahan.
- Majelis tidak tunduk pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA), padahal Pasal 5 ayat (1) UU No. 14 Tahun 2002 jelas menyebut bahwa pembinaan teknis Pengadilan Pajak berada di bawah Mahkamah Agung.
- Hakim mengabaikan regulasi lain yang relevan, seperti hukum acara, hukum administrasi, dan asas umum pemerintahan yang baik (AUPB).
- Gugatan terhadap keputusan DJBC sering ditolak dengan alasan sempit “harus banding”, padahal secara hukum dapat digugat.
- Pemeriksaan identitas tidak seimbang: penggugat diperiksa secara mendalam, sedangkan tergugat hanya menunjukkan surat tugas tanpa verifikasi keaslian.
- Ahli dijebak dengan pertanyaan yang menyesatkan seolah sumpah onsite mudah dilakukan, padahal prosedurnya tidak pernah dijelaskan.
- Penggugat kerap dipotong ketika berbicara, sementara pihak terbanding diberi keleluasaan penuh.
Semua ini bukan kebetulan. Ini pola yang menandakan bahwa hakim-hakim pengadilan pajak lebih sibuk menjaga reputasi DJP maupun DJBC ketimbang menegakkan keadilan bagi rakyat.
Supremasi Hukum Tanpa Supremasi Keadilan
Budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) pernah berujar:
“Kita hanya mengenal supremasi hukum, bukan supremasi keadilan. Padahal hukum tanpa moral hanyalah teks kosong.”
Dalam konteks pengadilan pajak, ucapan itu menjadi sangat relevan.
Ketika hukum dijalankan tanpa hati, keadilan menjadi korban pertama. Majelis hakim bersembunyi di balik peraturan teknis dan pasal-pasal fiskal, sementara wajib pajak yang mencari keadilan hanya diberi formalitas prosedural.
Padahal, keadilan bukan hanya sekadar hasil dari kepatuhan pada teks hukum. Ia adalah buah dari niat tulus untuk menyeimbangkan hak dan kewajiban antara rakyat dan negara.
Menegakkan Target, Bukan Kebenaran
Kecenderungan lain yang patut disorot adalah bagaimana pengadilan pajak secara tidak langsung diarahkan untuk mendukung target penerimaan negara.
Semakin banyak keputusan yang memenangkan DJP, semakin “baik” citra fiskus di mata Kementerian Keuangan.
Namun, di sisi lain, semakin banyak pula rakyat yang kehilangan kepercayaan terhadap sistem keadilan pajak.
Ironinya, semua itu dilakukan di bawah narasi “menegakkan supremasi hukum.”
Padahal yang sesungguhnya terjadi adalah tipu-tipu keadilan, hukum dijadikan bungkus formalitas untuk membenarkan praktik ketidakadilan fiskal yang struktural.
Saatnya Negara Mengembalikan Nurani Peradilan
Pengadilan Pajak seharusnya menjadi simbol koreksi atas kebijakan fiskal yang salah sasaran.
Namun kenyataannya, lembaga ini kini menjadi benteng pertahanan terakhir bagi aparat pajak, bukan bagi keadilan rakyat.
IWPI menegaskan, jika pengadilan pajak masih diisi oleh mantan pejabat DJP dan DJBC, maka sulit berharap independensi sejati.
Sama saja seperti membiarkan pemain bola menjadi wasit di pertandingan yang menentukan nasibnya sendiri.
Keadilan tidak lahir hanya dari sistem yang sempurna, tapi dari niat manusia yang jujur.
Dan hari ini, Indonesia membutuhkan hakim yang tidak sekadar hafal hukum, tetapi takut pada Tuhan dan malu pada rakyat.
 
  
 
 
 
 
  
 

 
  
  
 