Banyak pelaku usaha atau pengguna jasa kepabeanan tidak menyadari bahwa setiap kegiatan audit oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) memiliki aturan yang ketat. Salah satu yang paling mendasar, namun sering diabaikan adalah Surat Tugas.
Surat tugas bukan sekadar selembar surat formalitas. Dokumen ini adalah dasar hukum utama yang menentukan sah atau tidaknya suatu audit dilakukan. Tanpa surat tugas, auditor tidak memiliki kewenangan hukum untuk memeriksa, meminta data, atau mengakses informasi perusahaan.
Apa Itu Surat Tugas dan Mengapa Penting?
Surat Tugas diterbitkan oleh DJBC untuk menegaskan siapa saja yang ditunjuk menjadi Tim Audit, apa yang akan diperiksa, dan berapa lama audit berlangsung.
Bagi Wajib Pajak atau Auditee, surat ini penting karena memberikan kepastian hukum dan transparansi selama proses audit berlangsung.
Tanpa surat tugas yang sah, hasil audit seperti Nota Hasil Audit (NHA) atau Surat Penetapan Kewajiban Pabean (SPKP) bisa dipermasalahkan — bahkan dibatalkan.
Kewajiban Tim Audit Saat Memulai Pemeriksaan
Aturan mengenai ini diatur tegas dalam Pasal 17 huruf b PMK 200/2011. dalam melaksanakan pemeriksaan audit, Tim Audit wajib:
- Memperlihatkan tanda pengenal,
- Menyerahkan surat tugas atau surat perintah beserta daftar kuesioner,
- Menjelaskan maksud dan tujuan audit kepada Auditee, dan
- Menjaga kerahasiaan seluruh informasi yang diperoleh selama audit.
Jika prosedur ini tidak dijalankan, Wajib Pajak berhak menunda proses audit sampai seluruh ketentuan administratif dipenuhi. Hal ini bukan bentuk penolakan, melainkan perlindungan hukum atas hak Auditee.
Setiap Surat Tugas Wajib Disertai Daftar Kuesioner
Menurut Pasal 11 PMK 200/PMK.04/2011, setiap penerbitan surat tugas harus disertai daftar kuesioner yang diberikan kepada Auditee. Pasal tersebut menyebutkan bahwa:
- Setiap penerbitan surat tugas harus diikuti dengan penerbitan daftar kuesioner untuk Auditee.
- Daftar kuesioner diisi oleh Auditee dan disampaikan kepada Direktur Jenderal dalam amplop tertutup.
- Daftar kuesioner tersebut digunakan untuk menilai kinerja Tim Audit dan sistem audit.
Artinya, kuesioner bukan hanya formalitas — tetapi alat evaluasi dan akuntabilitas DJBC. Bagi Auditee, kuesioner juga menjadi sarana untuk menilai bagaimana audit dijalankan: apakah profesional, transparan, dan sesuai prosedur.
Audit Tidak Bisa Diperpanjang Sembarangan
Sesuai Pasal 19 ayat (1) PMK 200/PMK.04/2011, jangka waktu audit maksimal adalah 3 bulan sejak tanggal surat tugas diterbitkan. Jika audit belum selesai, pejabat berwenang harus mengajukan perpanjangan waktu kepada Direktur Jenderal sebelum masa audit berakhir (Pasal 25 ayat (7) PER-35/BC/2017).
Apabila perpanjangan ini tidak diajukan atau disetujui, maka audit yang tetap dijalankan tidak sah secara hukum. Dalam praktiknya, banyak Wajib Pajak tidak mengetahui hal ini — padahal ini adalah salah satu poin krusial dalam melindungi hak mereka.
Jenis Kegiatan yang Harus Tercantum di Surat Tugas
Surat tugas juga harus menjelaskan jenis kegiatan audit yang akan dilakukan. Berdasarkan Pasal 19 ayat (3) PMK 200/2011, pelaksanaan audit dapat berupa:
- Pekerjaan Lapangan, yaitu pemeriksaan langsung di lokasi perusahaan; atau
- Pekerjaan Kantor, yaitu pemeriksaan dokumen di kantor DJBC.
Jika surat tugas tidak mencantumkan jenis kegiatan ini dengan jelas, maka ruang lingkup audit menjadi kabur — dan dapat menimbulkan keraguan hukum terhadap keabsahannya.
Konsekuensi Hukum Jika Surat Tugas Tidak Sesuai Ketentuan
Audit yang dijalankan tanpa surat tugas, tanpa kuesioner, atau setelah masa tugas berakhir tanpa perpanjangan resmi dianggap cacat prosedur.
Hasil audit semacam itu tidak dapat digunakan sebagai dasar penerbitan:
- Surat Penetapan Kewajiban Pabean (SPKP),
- SPKTNP (Surat Penetapan Kewajiban Tambahan), atau
- Nota Hasil Audit (NHA).
Selain itu, pelaksanaan audit yang melanggar ketentuan administrasi bertentangan dengan asas kepastian hukum dan keterbukaan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Wajib Pajak Wajib Tahu dan Wajib Awasi
Sebagai pihak yang diaudit, Wajib Pajak atau perusahaan berhak tahu dan berhak awasi jalannya proses audit.
Beberapa langkah sederhana yang sebaiknya dilakukan Auditee antara lain:
- Minta salinan surat tugas dan daftar kuesioner sebelum audit dimulai.
- Periksa masa berlaku surat tugas dan catat tanggal berakhirnya.
- Jika audit berlangsung lebih dari 3 bulan, minta bukti perpanjangan resmi.
- Jika auditor tidak memperlihatkan surat tugas, tunda audit secara sopan dan tertulis.
Langkah-langkah ini akan membantu memastikan bahwa audit dilakukan secara sah, profesional, dan sesuai prosedur yang berlaku.
Kepatuhan yang Adil, Pengawasan yang Sehat
Audit seharusnya menjadi sarana pembinaan, bukan ancaman. Namun, agar fungsi itu berjalan dengan benar, kedua pihak — auditor dan auditee — harus sama-sama memahami aturan mainnya.
Dengan mengetahui hak dan kewajiban terkait Surat Tugas, Wajib Pajak dapat berperan aktif dalam menjaga integritas proses audit, sekaligus memastikan bahwa kepatuhan dijalankan secara adil, transparan, dan bermartabat.



