beritax.id – Peringatan 27 tahun Reformasi justru diwarnai pengabaian terhadap hak asasi manusia dan pengulangan pelanggaran masa lalu. Amnesty International Indonesia menyatakan bahwa praktik otoriter kini kembali mengancam kebebasan sipil, serta keadilan sosial rakyat Indonesia.
Direktur Eksekutif Amnesty, Usman Hamid, menyebut bahwa ketika hukum dikendalikan segelintir kelompok, maka reformasi kehilangan makna. “Putusan Mahkamah Konstitusi menjadi satu-satunya modalitas hukum yang tersisa,” ujarnya menekankan.
Data internasional menunjukkan indeks demokrasi Indonesia terus menurun dari tahun ke tahun. Freedom House mencatat penurunan skor dari 62 menjadi 57 sejak 2019 hingga 2024. World Press Freedom Index juga menempatkan Indonesia di posisi 127 dari 180 negara. Sementara EIU menilai Indonesia sebagai “demokrasi cacat” dan V-Dem menyebutnya telah menjadi “otokrasi elektoral”.
Amnesty menyoroti bahwa kebebasan ekspresi terus dikriminalisasi. Selama 2019–2024 terdapat 530 kasus pelanggaran hak berekspresi menggunakan UU ITE. Korbannya beragam, dari mahasiswa hingga seniman, jurnalis, dan warga biasa. Undang-undang dan aparat menjadi alat pengendali kritik, bukan penjaga keadilan.
Partai X: Pemerintah Harus Lindungi, Layani, dan Atur Rakyat, Bukan Represi
Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan, mengingatkan kembali tiga tugas utama pemerintah. Pemerintah harus melindungi rakyat, melayani mereka, dan mengatur kehidupan berbangsa dengan adil. Negara bukan mesin represi, tetapi alat rakyat untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan.
“Kalau mahasiswa, seniman, jurnalis, bahkan masyarakat adat dibungkam, maka pemerintah kehilangan fungsi utamanya,” tegas Rinto. Ia menilai bahwa kebebasan yang diperjuangkan pada 1998, kini kembali terkikis oleh logika kuasa yang membungkam kritik.
Prinsip Partai X: Negara Milik Rakyat, Bukan Warisan Kekuasaan Otoriter
Partai X berpandangan bahwa negara adalah entitas publik yang harus dijalankan secara efektif, efisien, dan transparan demi rakyat. Rakyat adalah pemilik kedaulatan. Pemerintah hanya pelaksana amanat, bukan pemilik kekuasaan.
Dalam logika Partai X, negara adalah bus, rakyat pemiliknya, dan pemerintah hanya sopir yang harus patuh.
“Jika pemerintah membawa negara ke jalan otoritarianisme, maka rakyat berhak mengganti arah dan sopirnya,” ucap Rinto. Ia memperingatkan agar jangan ada penulisan ulang sejarah untuk menghapus jejak kekejaman masa lalu.
Solusi Partai X: Reformasi Ulang Sistem, Pendidikan Sejak Dini
Untuk menyelamatkan cita-cita Reformasi, Partai X mendorong Amandemen Kelima UUD 1945 agar kedaulatan dikembalikan sepenuhnya kepada rakyat. Partai X juga menuntut reformasi hukum berbasis kepakaran dan digitalisasi birokrasi agar tidak lagi dikuasai oligarki kekuasaan.
Pendidikan harus masuk dalam kurikulum dasar agar generasi muda sadar dan berani melawan represi. Negara harus berhenti menakut-nakuti rakyat dengan pasal-pasal karet dan intimidasi aparat.
Partai X melalui X-Institute menyelenggarakan Sekolah Negarawan untuk mencetak pemimpin yang kritis, berani, dan membela hak rakyat. Pendidikan kebangsaan menjadi fondasi membangun demokrasi yang adil, bukan sekadar formalitas pemilu.
Negarawan masa depan harus sadar bahwa kuasa bukan tujuan, tapi alat untuk menyejahterakan. Hanya melalui kepemimpinan bermoral, demokrasi bisa diselamatkan dari kemunduran.
Partai X menyatakan bahwa reformasi belum mati, tetapi sedang dilumpuhkan oleh logika kuasa dan represi yang dibungkus hukum. Pemerintah harus kembali ke mandatnya: lindungi rakyat, layani rakyat, atur dengan adil. Jangan biarkan sejarah Reformasi dikubur oleh kebijakan anti-demokrasi. Saatnya rakyat bangkit dan menagih janji keadilan yang dulu diperjuangkan dengan darah dan air mata.