beritax.id – Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM tengah merevisi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Revisi ini diklaim sebagai respons atas derasnya arus perkembangan teknologi, termasuk dominasi kecerdasan buatan (AI) dalam produksi karya intelektual. Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual, Razilu, menegaskan bahwa revisi ini bertujuan untuk mengatur hak cipta di tengah era digital.
Menurut Razilu, revisi ini akan memperkuat perlindungan bagi kekayaan intelektual dan menyesuaikan regulasi terhadap potensi karya yang dihasilkan sepenuhnya oleh AI. Dirinya mencontohkan bagaimana prompt data AI bisa menghasilkan konten tanpa intervensi manusia, yang saat ini belum tercakup dalam hukum yang berlaku.
Kritik Partai X Mengenai UU Hak Cipta
Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X-Institute, Rinto Setiyawan, menyambut baik semangat pembaruan tersebut. Namun ia mengingatkan, jangan sampai perlindungan hukum justru lebih berpihak kepada mesin, algoritma, dan platform digital dibanding pencipta manusianya.
Menurut Rinto, hak cipta adalah instrumen negara untuk melindungi keadilan atas hasil jerih payah intelektual rakyat, bukan sekadar aset dalam peta industri. Dalam keterangan resminya, ia menyatakan bahwa negara harus memastikan undang-undang ini memberikan kepastian hukum kepada kreator lokal, terutama pelaku ekonomi rakyat, guru, seniman, dan peneliti.
“Negara ini ada untuk melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat, bukan mengatur lalu tunduk pada logika pasar digital global,” ujar Rinto.
Solusi Partai X: Pendidikan Kreatif dan Tata Kelola Digital Berkeadilan
Partai X menilai bahwa solusi bukan hanya merevisi undang-undang, tapi juga membangun sistem pendidikan dan ekosistem digital yang adil. Negara harus hadir dengan memfasilitasi literasi kekayaan intelektual sejak sekolah dasar. Kurikulum pendidikan perlu menyertakan pembelajaran tentang hak cipta, kepemilikan karya, dan etika penggunaan AI.
Sekolah Negarawan yang digagas Partai X mengedepankan kepemimpinan berbasis etika, kompetensi, dan tanggung jawab sosial. Dalam konteks revisi UU ini, semangat sekolah tersebut mengajarkan bahwa teknologi hanya alat, bukan tujuan. Keadilan tetap harus berpusat pada manusia dan kebajikan publik.
Prinsip Partai X: Teknologi untuk Keadilan Sosial, Bukan Ketimpangan Baru
Partai X menegaskan bahwa keberpihakan terhadap rakyat harus menjadi fondasi kebijakan teknologi. Prinsip keberlanjutan, keadilan sosial, dan kedaulatan budaya yang diusung Partai X menjadi tolok ukur dalam menilai efektivitas UU ini.
Kritik terhadap AI sebagai produsen karya tanpa campur tangan manusia juga tidak bisa diabaikan. Dalam banyak kasus, AI mengolah data hasil karya kolektif tanpa atribusi dan kompensasi. Jika ini tidak diatur, maka negara akan melanggengkan ketidakadilan struktural baru.
Partai X menyerukan agar revisi UU Hak Cipta tidak berhenti pada pengakuan teknologi. Yang dibutuhkan adalah perlindungan komprehensif bagi pencipta, penguatan pendidikan kreatif, serta sistem tata kelola digital yang berpihak pada rakyat. Hanya dengan itulah cita-cita kedaulatan digital nasional dapat terwujud. Jika negara gagal melindungi manusianya, maka mesin akan menjadi tuan atas peradaban kita sendiri.