beritax.id – Awal 2025, Indonesia mencatat Debt Service Ratio (DSR) sebesar 45 persen, seperti dirilis Kementerian Keuangan (2 Januari 2025). Angka ini menunjukkan hampir separuh penerimaan negara habis untuk membayar bunga dan pokok utang. DSR ini melampaui batas aman 30 persen yang disarankan Bank Indonesia. Artinya, tekanan terhadap anggaran negara semakin berat dan ruang fiskal untuk pembangunan makin terbatas.
Dalam dokumen Nota Keuangan APBN 2025 (25 September 2024), belanja negara ditetapkan Rp 3.621,3 triliun dengan defisit Rp 616,2 triliun. Belanja non-Kementerian/Lembaga bahkan mencapai Rp 1.541,4 triliun, mengindikasikan mayoritas pengeluaran negara masih difokuskan pada pos rutin. Jika 45 persen anggaran terserap untuk utang, berapa yang tersisa untuk pendidikan dan kesehatan?
Partai X: Tambah Utang atau Bangun Masa Depan?
Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan, mengingatkan bahwa tugas negara itu tiga: melindungi, melayani, dan mengatur rakyat. “Jika utang hanya untuk belanja rutin dan menambal defisit, ini bukan investasi masa depan, tapi jual masa depan,” ujar Rinto. Menurutnya, belanja pegawai dan pengeluaran rutin tidak boleh terus mendominasi komposisi APBN.
Partai X menegaskan, utang harus diarahkan pada sektor produktif. Pembangunan kawasan industri, logistik, dan ketahanan pangan harus menjadi prioritas. “Kalau mau berutang, pastikan utangnya berdampak ganda: membuka kerja, memperkuat produksi, dan menciptakan nilai tambah,” lanjutnya.
Prinsip Partai X jelas: ekonomi rakyat adalah prioritas. Rinto menegaskan bahwa utang yang tidak menyentuh rakyat hanya memperdalam ketimpangan. “Jangan sampai kita meniru negara yang jatuh ke jurang krisis karena salah kelola utang,” katanya, merujuk pada krisis fiskal Sri Lanka dan Ghana.
Guncangan Global Tidak Bisa Dijadikan Kambing Hitam
Rinto juga menyoroti dampak kebijakan tarif baru dari Amerika Serikat terhadap ekspor Indonesia. Mulai Januari 2025, AS mengenakan tarif tambahan hingga 20 persen pada produk Indonesia. Tekanan ini, ditambah pelemahan rupiah ke Rp 17.000 per dolar AS, membuat utang luar negeri makin membebani.
Menurut Partai X, pemerintah tidak boleh hanya menyalahkan eksternal. “Kalau DSR 45 persen, itu bukan salah AS. Itu alarm bahwa kita harus koreksi strategi ekonomi dalam negeri,” ujar Rinto. Ia mendesak agar evaluasi belanja negara dilakukan menyeluruh dan reformasi fiskal dilakukan segera.
Partai X menawarkan solusi: tata kembali belanja negara, prioritaskan belanja modal, dan perluas basis penerimaan negara dari sektor rakyat. “Bukan cukai rokok yang dinaikkan, tapi keberdayaan UMKM yang diperluas,” tutup Rinto. Ia mengingatkan bahwa pembangunan sejati dimulai dari keberanian menata prioritas, bukan sekadar kemampuan menambah utang.