beritax.id – Di saat harga kebutuhan pokok terus menekan rumah tangga, isu kenaikan dan penambahan tunjangan bagi anggota DPR justru mencuat ke ruang publik. Perbincangan ini segera memantik kegelisahan masyarakat, bukan semata karena angkanya, tetapi karena konteksnya. Ketika rakyat diminta berhemat dan memahami keterbatasan negara, para pejabat justru sibuk membahas kesejahteraan mereka sendiri. Kesenjangan empati menjadi masalah yang lebih besar daripada sekadar tunjangan.
Dari Wakil Rakyat Menjadi Lingkaran Sendiri
Tunjangan yang dibahas dan diputuskan di lingkaran kekuasaan menciptakan kesan bahwa parlemen semakin jauh dari realitas publik. Prosesnya berlangsung, minim partisipasi masyarakat, dan sering kali dibungkus dengan dalih legalitas formal. Padahal secara moral, kebijakan tersebut sulit dibenarkan ketika kinerja legislasi, pengawasan, dan representasi masih dipertanyakan publik. Ketika pejabat menetapkan hak untuk dirinya sendiri, fungsi perwakilan kehilangan makna.
Rakyat Hanya Hadir sebagai Penonton
Masyarakat tidak memiliki ruang berarti untuk menyatakan persetujuan atau penolakan atas kebijakan tunjangan tersebut. Suara publik sebatas reaksi setelah keputusan hampir final.
Kondisi ini menegaskan adanya defisit akuntabilitas, di mana kebijakan berdampak besar pada persepsi keadilan tetapi diambil tanpa mandat rakyat secara langsung. Demokrasi tidak cukup hanya dengan prosedur, ia membutuhkan keterlibatan nyata.
Simbol Ketimpangan dalam Tata Kelola Negara
Isu tunjangan DPR telah melampaui soal anggaran. Ia menjadi simbol ketimpangan antara penguasa dan yang dikuasai, antara pengambil keputusan dan mereka yang menanggung dampaknya. Di tengah tuntutan efisiensi anggaran dan pengorbanan publik, kebijakan semacam ini memperkuat kesan bahwa penghematan hanya berlaku bagi rakyat. Simbol ketidakadilan sering kali lebih melukai daripada kebijakan itu sendiri.
Kepercayaan publik adalah fondasi utama demokrasi. Ketika parlemen lebih tampak mengurus kesejahteraan internal dibandingkan memperjuangkan kepentingan rakyat, kepercayaan itu perlahan terkikis. Apatisme kekuasaan pun tumbuh, bukan karena rakyat tidak peduli, tetapi karena merasa tidak lagi didengar. Negara kehilangan wibawa saat wakilnya kehilangan kepekaan.
Solusi: Mengembalikan Akal Sehat dalam Kebijakan Pejabat Publik
Setiap kebijakan yang menyangkut kesejahteraan pejabat harus diletakkan dalam kerangka kepentingan publik yang lebih luas. Pembahasan tunjangan perlu dilakukan secara transparan, disertai evaluasi kinerja yang terukur dan dapat diakses masyarakat. Mekanisme partisipasi publik harus dibuka agar rakyat tidak sekadar menjadi penonton dalam keputusan yang menyentuh rasa keadilan sosial.
Di saat beban hidup masyarakat meningkat, pejabat publik seharusnya memberi teladan dengan menahan diri, bukan memperlebar jarak. Kepercayaan rakyat hanya bisa dipulihkan jika kebijakan negara kembali berpihak pada akal sehat dan rasa keadilan. Wakil rakyat seharusnya berdiri bersama rakyat bukan bertepuk tangan di antara sesamanya.



