beritax.id — Isu keterlibatan TNI sebagai penyidik tindak pidana siber mencuat setelah beredarnya draf Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS). Koalisi masyarakat sipil menilai pasal yang memberi kewenangan penyidikan kepada TNI berpotensi memperluas peran militer ke ranah hukum sipil.
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menegaskan bahwa penyidik TNI hanya untuk kasus yang melibatkan personel militer. Sementara, Kepala Pusat Penerangan TNI Mayjen Freddy Ardianzah juga memastikan, TNI tidak akan menyidik warga sipil. Namun, kritik publik tetap muncul karena ketentuan dalam draf RUU dianggap membuka ruang militerisasi ruang siber.
Koalisi masyarakat sipil menilai pelibatan TNI sebagai penyidik bertentangan dengan UUD 1945 dan prinsip supremasi sipil. Mereka mengingatkan bahwa TNI bertugas mempertahankan kedaulatan negara, bukan menegakkan hukum sipil. Kekhawatiran juga muncul karena peradilan militer masih berlaku bagi anggota TNI yang melakukan pelanggaran hukum, tanpa mekanisme pengawasan independen.
Partai X: Negara Harus Ingat, TNI Bukan Alat Kekuasaan Sipil
Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X Institute, Prayogi R Saputra, menegaskan bahwa setiap kebijakan harus berpijak pada fungsi asli lembaga negara.
“Tugas negara itu tiga loh melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Tapi kalau TNI diberi wewenang penyidik, apa bedanya dengan aparat sipil? Ini berpotensi tumpang tindih dan melanggar prinsip konstitusi,” ujarnya di Jakarta.
Menurut Prayogi, perluasan kewenangan militer dalam penegakan hukum justru melemahkan sistem demokrasi dan supremasi sipil. Ia menilai, RUU KKS berpotensi menimbulkan ketakutan baru di ruang digital, di mana rakyat merasa diawasi bukan dilindungi.
“Negara jangan menyamakan keamanan dengan kekuasaan. Rakyat perlu perlindungan hukum, bukan kontrol militer di dunia maya,” tambahnya.
Prinsip Partai X: Supremasi Sipil Adalah Harga Mati
Partai X menegaskan bahwa negara yang sehat harus menegakkan supremasi sipil di atas kekuasaan militer. TNI harus fokus pada tugas pertahanan, bukan penegakan hukum. Prinsip ini lahir dari pandangan bahwa negara bukan rezim, dan rezim bukan negara. Saat peran militer diseret ke ranah sipil, maka batas konstitusional antara rakyat dan kekuasaan menjadi kabur.
Partai X percaya bahwa keamanan digital hanya bisa diwujudkan melalui tata kelola hukum yang transparan dan berbasis kepercayaan rakyat. Negara harus menjadi pelindung hak warga, bukan pengawas ruang privat mereka. Demokrasi tidak bisa dijaga dengan kekuatan senjata, melainkan dengan supremasi hukum dan akuntabilitas publik.
Solusi Partai X: Kedaulatan Siber, Bukan Militerisasi Siber
Partai X menawarkan langkah solutif untuk mencegah kekacauan wewenang dan menjaga keadilan di era digital:
Pertama, pemerintah harus memastikan pemisahan yang tegas antara fungsi pertahanan dan fungsi penegakan hukum agar tidak tumpang tindih.
Kedua, RUU KKS harus disusun dengan melibatkan masyarakat sipil, akademisi, dan lembaga independen untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas.
Ketiga, pembentukan Badan Pertahanan Siber Nasional perlu diarahkan pada aspek defensif, bukan represif, dengan kendali penuh di bawah sistem hukum sipil.
Selain itu, Partai X menegaskan pentingnya pendidikan literasi digital sebagai benteng moral masyarakat terhadap ancaman siber. “Kedaulatan siber bukan soal siapa yang berkuasa, tapi siapa yang dipercaya rakyat,” tegas Prayogi.