beritax.id — Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun mengungkapkan fakta mencengangkan. Ia menyebut, defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bisa menembus lebih dari 3 persen jika tidak ditopang penerimaan dari cukai rokok. Hingga 30 September 2025, defisit APBN telah mencapai Rp371,5 triliun atau setara 1,56 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Target defisit tahun 2025 ditetapkan sebesar 2,78 persen.
Menurut Misbakhun, penerimaan cukai dari industri rokok menjadi penyangga utama APBN. “Kalau perusahaan tidak bayar cukai di muka, defisit kita bisa lebih besar,” ujarnya di acara CNBC Indonesia Coffee Morning, Rabu (22/10). Ia menegaskan, pemerintah terlalu bergantung pada kontribusi industri rokok tanpa memberikan perhatian serius terhadap petani tembakau yang menopang sektor tersebut.
Ketergantungan Negara yang Tidak Sehat
Partai X menilai pernyataan Misbakhun adalah sinyal bahaya tentang rapuhnya kemandirian fiskal negara. Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X Institute, Prayogi R Saputra, menyoroti bahwa ketergantungan negara terhadap cukai rokok menunjukkan lemahnya diversifikasi penerimaan negara. “Jika negara hidup dari asap rokok, maka rakyat yang menanggung polusinya,” tegas Prayogi.
Ia mengingatkan kembali prinsip dasar negara bahwa tugas pemerintah ada tiga melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Namun, realitas hari ini memperlihatkan justru rakyat kecil menjadi korban dari struktur ekonomi yang timpang. “Petani tembakau tidak mendapat subsidi, sementara cukai diperas untuk menambal APBN. Ini ironi fiskal yang menyesakkan,” tambahnya.
Kritik Partai X: Ekonomi Tak Boleh Bertumpu pada Cukai
Partai X menilai ketergantungan APBN terhadap penerimaan cukai menunjukkan kegagalan pemerintah dalam membangun basis ekonomi produktif. Alih-alih memperkuat sektor riil, negara justru bersandar pada konsumsi adiktif yang secara sosial dan kesehatan merugikan rakyat.
“Negara harusnya mendorong inovasi industri, bukan bergantung pada rokok. Jika sumber penerimaan negara berasal dari kebiasaan merokok rakyatnya, maka ini bukan kemandirian, tapi kemunduran,” ujar Prayogi. Ia menambahkan, keadilan ekonomi tidak akan pernah tercapai bila kebijakan fiskal dibangun di atas kebiasaan konsumtif, bukan produktif.
Menurut Partai X, pemerintah seharusnya berani mereformasi sistem penerimaan negara dengan menumbuhkan sektor industri, pertanian, dan UMKM berbasis nilai tambah. “APBN bukan sekadar angka. Ia cerminan pilihan moral negara. Pilihannya: menopang rakyat, atau memerasnya lewat cukai,” lanjut Prayogi dengan nada kritis.
Prinsip Partai X: Ekonomi Rakyat, Bukan Ekonomi Ketergantungan
Prinsip Partai X menegaskan bahwa kemandirian ekonomi bangsa tidak boleh bergantung pada satu sumber penerimaan, apalagi yang membebani masyarakat. Dalam pandangan Partai X, APBN harus dikelola berdasarkan asas keadilan sosial dan tanggung jawab moral terhadap rakyat.
Pemerintah harus menegakkan transparansi fiskal dengan memastikan setiap rupiah yang masuk dari cukai dialokasikan kembali untuk kesejahteraan rakyat. “Petani tembakau, buruh pabrik, dan masyarakat miskin harus merasakan manfaat langsung dari pajak yang mereka bayar, bukan hanya angka defisit yang dikendalikan,” ujar Prayogi menegaskan prinsip partai.
Solusi Partai X: Reformasi Fiskal Berbasis Keadilan dan Produksi Nasional
Sebagai solusi, Partai X mengusulkan reformasi fiskal nasional dengan tiga arah kebijakan strategis: pertama, memperluas basis penerimaan negara melalui sektor produktif seperti pertanian, energi terbarukan, dan industri berbasis inovasi. Kedua, memperkuat peran BUMN dan koperasi rakyat untuk menjadi sumber penerimaan berkelanjutan. Ketiga, menata ulang sistem cukai agar tidak lagi eksploitatif terhadap petani dan masyarakat kecil.
“Cukai seharusnya menjadi alat kontrol sosial, bukan tongkat fiskal negara. Pemerintah wajib menata kembali arah penerimaan agar berpihak pada kesejahteraan rakyat, bukan sekadar menjaga angka defisit,” tegas Prayogi.
Penutup: Saatnya Negara Berpihak pada Rakyat, Bukan Asap Rokok
Partai X menilai bahwa kondisi fiskal saat ini adalah cermin nyata dari kegagalan moral kebijakan publik. Negara tidak bisa terus hidup dari beban rakyat kecil melalui cukai.
“Cukai bukan solusi, tapi peringatan. Bila negara terus bergantung pada rokok untuk menambal defisit, maka yang terbakar bukan hanya tembakau, tapi juga masa depan bangsa,” pungkas Prayogi dengan tegas.



