beritax.id – Pertambangan kembali dipromosikan sebagai mesin pertumbuhan ekonomi nasional. Namun di balik klaim investasi dan penciptaan lapangan kerja, realitas di lapangan menunjukkan paradoks yang kian tajam: keuntungan terkonsentrasi pada segelintir pemilik modal, sementara beban sosial, ekologis, dan fiskal ditanggung negara dan rakyat. Perdebatan ini menguat seiring pembahasan revisi kebijakan minerba dan perpanjangan izin tambang yang dinilai memberi kemudahan berlebih bagi oligarki atau perusahaan besar di tengah krisis lingkungan dan meningkatnya bencana ekologis.
Kebijakan Ramah Modal, Negara Menanggung Risiko
Sejumlah keputusan terbaru memperlihatkan kecenderungan negara memprioritaskan kepastian usaha tambang mulai dari perpanjangan konsesi hingga relaksasi kewajiban tertentu. Dampaknya, kontrol negara melemah justru saat pengawasan paling dibutuhkan.
Ketika banjir, longsor, dan krisis air bersih terjadi di wilayah tambang, anggaran publik yang dikerahkan untuk pemulihan. Sementara itu, kontribusi korporasi terhadap pemulihan sering kali terbatas dan tidak sebanding dengan kerusakan yang ditinggalkan.
Daerah Penghasil, Kerusakan yang Menetap
Di berbagai daerah penghasil tambang, warga menghadapi penurunan kualitas hidup: sungai tercemar, lahan pertanian menyusut, debu dan kebisingan meningkat. Ironisnya, manfaat ekonomi lokal tak berbanding lurus dengan skala eksploitasi.
Kasus-kasus konflik lahan dan kesehatan publik terus muncul, tetapi jarang berujung pada evaluasi menyeluruh terhadap izin dan operasi perusahaan.
Keuntungan Privat, Kerugian Publik
Model pengelolaan saat ini membuat kerugian lingkungan menjadi “biaya eksternal” yang tidak masuk perhitungan kebijakan. Negara menanggung rehabilitasi, daerah menanggung kerusakan, dan generasi mendatang mewarisi risiko sementara laba sudah lebih dulu dipanen.
Pola ini menimbulkan kerugian nasional jangka panjang yang sering luput dari narasi resmi pertumbuhan ekonomi.
Amanat Konstitusi yang Tergerus
Pasal 33 UUD 1945 menegaskan pengelolaan SDA untuk kemakmuran rakyat. Namun praktik kebijakan yang lebih melayani oligarki tambang memunculkan pertanyaan serius tentang konsistensi negara terhadap amanat konstitusi tersebut.
Jika negara terus memfasilitasi akumulasi keuntungan privat tanpa pengendalian yang tegas, kerugian negeri akan semakin menganga.
Solusi: Menghentikan Kerugian Struktural
Untuk membalik arah kebijakan dan menutup kebocoran kerugian nasional, langkah-langkah berikut mendesak dilakukan:
- Audit menyeluruh konsesi tambang aktif
Menilai dampak lingkungan, sosial, dan fiskal secara transparan. - Pengetatan pengawasan dan sanksi tegas
Bagi pelanggaran lingkungan dan kewajiban reklamasi. - Transparansi pendapatan dan biaya pemulihan
Agar publik mengetahui siapa untung dan siapa menanggung rugi. - Penguatan peran daerah dan masyarakat terdampak
Dalam pengambilan keputusan dan pengawasan. - Reorientasi kebijakan SDA pada kepentingan nasional jangka panjang
Bukan pada target keuntungan jangka pendek.
Selama tambang dikelola untuk oligarki, negeri akan terus menanggung kerugian yang tak tercatat. Pembangunan sejati menuntut keberanian negara untuk mengoreksi arah, menegakkan konstitusi, dan memastikan bahwa sumber daya alam benar-benar menjadi berkah bagi seluruh rakyat Indonesia.



