beritax.id — Pengacara Firdaus Oiwobo resmi menggugat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Langkah itu ditempuh setelah sumpah advokat dibekukan oleh Pengadilan Tinggi Banten usai insiden “naik meja” di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Gugatan tersebut tercatat dengan nomor 217/PUU-XXIII/2025 dan menyasar Pasal 7 ayat (3) serta Pasal 8 ayat (2) UU Advokat.
Firdaus menilai kedua pasal tersebut melanggar prinsip keadilan dan hak konstitusional advokat. Ia menuntut agar organisasi advokat wajib memberikan kesempatan pembelaan diri yang adil, transparan, dan proporsional sebelum menjatuhkan sanksi. Selain itu, ia meminta agar Mahkamah Agung menjadi satu-satunya lembaga yang berwenang membekukan berita acara sumpah advokat.
Dalam permohonannya, Firdaus menyebut dirinya dirugikan secara konstitusional karena tidak bisa lagi beracara dan mencari nafkah. “Pembekuan berita acara sumpah itu meniadakan hak saya membantu pencari keadilan melalui profesi yang sah,” ujarnya dalam permohonan ke MK.
Partai X: Hukum Harus Menjadi Pelindung, Bukan Alat Kekuasaan
Menanggapi kasus tersebut, Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X Institute Prayogi R Saputra menegaskan bahwa penegakan hukum tidak boleh dijadikan alat kepentingan pejabat atau lembaga. “Ketika hukum tidak lagi adil, rakyat kecil kehilangan sandaran terakhirnya. Negara gagal menjalankan tugas dasarnya,” tegasnya.
Prayogi mengingatkan kembali, tugas negara ada tiga: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. “Dalam konteks hukum, melindungi berarti memastikan setiap warga, termasuk advokat, mendapatkan keadilan prosedural,” katanya.
Menurutnya, setiap tindakan pembekuan atau sanksi harus melalui mekanisme etik yang terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan.
Ia menilai praktik seperti ini berbahaya karena menyeret hukum ke ruang kekuasaan administratif. “Jika pejabat bisa membekukan sumpah advokat tanpa proses etik, maka hukum telah kehilangan integritasnya,” ujar Prayogi.
Prinsip Partai X: Keadilan untuk Semua, Bukan untuk yang Berkuasa
Partai X berpegang pada prinsip bahwa keadilan harus hidup dalam sistem, bukan dalam keinginan pejabat. Negara hukum tidak boleh memberi ruang pada tindakan sepihak yang merugikan warga negara.“Prinsip kami jelas: hukum harus berpihak pada kebenaran, bukan pada kekuasaan. Tidak boleh ada diskriminasi hukum,” tegas Prayogi.
Menurutnya, advokat adalah bagian penting dari sistem peradilan. Mereka bukan lawan negara, melainkan penjaga hak rakyat di depan hukum.
Karena itu, setiap pelanggaran etik harus ditangani oleh Dewan Kehormatan Advokat, bukan lembaga pengadilan umum. “Kalau mekanisme etik dilewati, itu bukan penegakan hukum, tapi penyalahgunaan kewenangan,” katanya.
Solusi Partai X: Reformasi Etik dan Pengawasan Terbuka
Partai X menawarkan tiga solusi untuk memperkuat keadilan hukum dan melindungi profesi advokat dari intervensi kekuasaan:
Pertama, revisi terbatas UU Advokat untuk memperjelas mekanisme etik dan memastikan independensi profesi hukum. “Setiap advokat harus punya hak membela diri sebelum dijatuhi sanksi,” ujar Prayogi.
Kedua, pembentukan Dewan Etik Bersama yang melibatkan organisasi advokat, Mahkamah Agung, dan perwakilan publik. Langkah ini bertujuan untuk memastikan proses etik berlangsung objektif dan bebas konflik kepentingan.
Ketiga, penerapan sistem digital transparan untuk pengawasan sanksi dan keanggotaan advokat agar publik dapat memantau prosesnya secara terbuka. “Transparansi adalah obat terbaik untuk mencegah penyalahgunaan hukum,” tegasnya.
Penutup: Hukum untuk Keadilan, Bukan Kekuasaan
Partai X menegaskan bahwa negara tidak boleh menjadikan hukum sebagai mainan pejabat atau alat pembungkaman. “Hukum yang adil harus berdiri di atas moral, bukan di bawah meja kekuasaan,” ujar Prayogi menutup pernyataannya.
Ia menegaskan, kasus Firdaus harus menjadi refleksi bersama agar hukum kembali ke fitrahnya: melindungi rakyat, bukan menindasnya. “Kalau hukum tunduk pada kekuasaan, maka keadilan tinggal slogan. Saatnya negara berpihak pada kebenaran, bukan pada kepentingan.”



