Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI)
Anggota Majelis Tinggi Partai X
Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
beritax.id – Beberapa waktu terakhir, setiap kali Sri Mulyani tampil di ruang publik, kata yang paling sering ia ulang-ulang adalah pajak. Pajak sebagai tulang punggung APBN, pajak sebagai gotong royong, pajak yang bahkan sempat ia sejajarkan dengan zakat dan wakaf. Narasi tentang pajak seperti tidak pernah berhenti keluar dari mulut Menteri Keuangan.
Padahal, kalau kita buka UU No. 61 Tahun 2024 tentang Kementerian Negara dan Perpres No. 158 Tahun 2024 tentang Kementerian Keuangan, jelas sekali: tugas Menkeu jauh lebih luas. Ia adalah penasihat fiskal utama Presiden. Seorang chief financial officer negara. Ia seharusnya bicara tentang arah ekonomi riil, sektor produktif mana yang harus dipacu, belanja apa yang harus dihemat, dan celah mana yang rawan korupsi.
Sayangnya, fungsi itu jarang sekali terdengar. Publik lebih sering mendengar seruan pajak, pajak, pajak. Sementara keberanian untuk mengingatkan Presiden tentang pemborosan atau keberanian merasionalisasi belanja negara, seperti hilang dari radar.
Ironi makin jelas ketika kita lihat komunikasi publik. Direktur Jenderal Pajak yang seharusnya menjadi wajah utama kebijakan perpajakan malah jarang bicara. Justru Sri Mulyani sendiri yang tampil seperti jurubicara pajak nasional. Dari sinilah muncul pertanyaan: apakah kita masih punya Menteri Keuangan, atau hanya Menteri Perpajakan?
Program Hasil Terbaik Cepat
Apalagi, dalam visi pemerintahan baru Prabowo–Gibran, salah satu 8 Program Hasil Terbaik Cepat adalah membentuk Badan Penerimaan Negara (BPN). BPN ini nantinya akan menyatukan Direktorat Jenderal Pajak dan Bea Cukai, terpisah dari Kementerian Keuangan. Agar fokus pada pengelolaan penerimaan negara. Artinya, jika BPN berdiri, urusan pajak tidak lagi dominan di Menkeu, karena sudah ada lembaga tersendiri.
Dalam konteks itu, gaya Sri Mulyani yang terus-menerus bicara pajak justru memperkuat kesan bahwa ia lebih cocok memimpin lembaga seperti BPN atau setidaknya menjabat sebagai Menteri Perpajakan. Kalau memang pos itu ada, daripada menjalankan fungsi luas seorang Menteri Keuangan.
Menteri Keuangan seharusnya bicara soal utang yang produktif, arah belanja yang efisien, strategi menghindari jebakan fiskal, dan tentu saja perlindungan APBN dari kebocoran. Kalau hanya berhenti di retorika pajak tanpa reformasi menyeluruh, publik wajar menilai ada tugas besar yang diabaikan.
Republik ini berdiri atas kedaulatan rakyat. APBN adalah hak rakyat, bukan milik pemerintah. Maka Menteri Keuangan semestinya menjadi pelindung uang rakyat sekaligus pengarah strategi pembangunan, bukan sekadar penagih pajak.
Dan di titik inilah pertanyaan sinis itu muncul: apakah Sri Mulyani masih Menteri Keuangan, atau sebenarnya lebih cocok jadi Kepala Badan Penerimaan Negara?