Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia
Anggota Majelis Tinggi Partai X
Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
beritax.id – Apakah kita sedang menyaksikan sebuah pengkhianatan terhadap konstitusi, dilakukan oleh pejabat yang memegang kendali penuh atas keuangan negara? Rangkaian kebijakan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam setahun terakhir tidak hanya membingungkan. Tetapi juga meninggalkan jejak penderitaan nyata bagi rakyat di daerah. Dari pernyataan optimistis pada 2024 hingga kebijakan pemangkasan drastis pada 2025, semuanya terjadi tanpa peringatan, memicu kenaikan pajak daerah yang luar biasa tinggi, bahkan ada yang mencapai hingga seribu persen.
Dari Janji Politik ke Keputusan yang Berbalik
Kampanye Pilpres 2024 membawa janji besar dari Prabowo Subianto. Ia bertekad membentuk Badan Penerimaan Negara (BPN) dengan menggabungkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), memisahkannya dari Kementerian Keuangan. Prabowo juga menargetkan kenaikan tax ratio hingga 23 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), dua kali lipat lebih tinggi dari target tahun 2024 yang hanya 10,12 persen. Di saat yang sama, program Makan Bergizi Gratis (MBG) dimasukkan dalam 8 Program Hasil Terbaik Cepat.
Namun, di tengah euforia janji kampanye itu, pada 23 September 2024 Sri Mulyani mengumumkan wacana kenaikan local taxing power (kewenangan pemerintah daerah menetapkan pajak) hingga 300 persen. Dalihnya, hampir sepertiga APBN dialokasikan untuk Transfer ke Daerah (TKD), sehingga daerah harus diberi ruang lebih besar untuk memungut pajak, tanpa adanya pernyataan akan mengurangi dana TKD. Pernyataan ini sontak menjadi pegangan para calon kepala daerah yang tengah berkampanye dalam Pilkada 2024. Mereka mengumbar janji kesejahteraan berdasarkan asumsi dana pusat akan tetap mengalir deras.
Kebijakan Berbalik 180 Derajat
Realitas berubah drastis begitu memasuki 2025. Anggaran MBG ternyata membengkak menjadi Rp171 triliun, fokus utamanya di Jawa. Sementara itu, utang jatuh tempo pemerintah mencapai Rp800,33 triliun. Alih-alih memberikan peringatan dini kepada Presiden, Sri Mulyani pada 4 Februari 2025 justru tidak mengingatkan Presiden sebelum menerbitkan kebijakan memangkas TKD hingga 50 persen melalui Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 2025. Langkah ini jelas bertolak belakang dengan ucapannya di 2024. Hal ini seperti “jebakan” Sri Mulyani untuk melibatkan Presiden dalam urusan Pajak Daerah. Padahal, rencana menaikkan local taxing power itu dia ucapkan sebelum Calon Presiden Prabowo dilantik menjadi Presiden tanggal 20 Oktober 2024.
Dampaknya langsung terasa. Kepala daerah yang sudah berjanji manis kepada warganya terpaksa mencari sumber dana lain. Jalan pintas yang diambil? Menaikkan pajak daerah secara ekstrem.
Pati Jadi Simbol Perlawanan
Krisis ini meledak di Pati, Jawa Tengah. Pada 6 Agustus 2025, Bupati Sudewo dengan enteng menantang warganya yang menolak kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250 persen. “Jangan cuma 5.000 orang yang demo,” ujarnya. Tantangan itu dibalas dengan aksi protes besar-besaran: 100 ribu orang turun ke jalan pada 13 Agustus 2025.
Media sosial, termasuk akun @bank.karma, menunjukkan bahwa Pati bukan kasus tunggal. Daerah lain seperti Banyuwangi, Semarang, Cirebon, Bone, dan Jombang mengalami lonjakan pajak yang sama drastisnya.
Mengabaikan Amanat Konstitusi
Ironisnya, sehari sebelum demo Pati, Sri Mulyani justru menyoroti rendahnya gaji guru dan dosen. Pernyataan itu terdengar kontradiktif dengan amanat Pasal 31 UUD 1945 yang menegaskan bahwa negara wajib memprioritaskan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN dan APBD tanpa membebankan beban itu kepada rakyat. Apalagi, tujuan negara yang diamanatkan Pembukaan UUD 1945 adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa dan mewujudkan kesejahteraan umum”.
Kebijakan memangkas TKD sambil membiarkan daerah menaikkan pajak secara brutal jelas menempatkan rakyat sebagai korban utama. Ini bukan hanya soal salah kelola fiskal, tetapi indikasi pengabaian terhadap amanat konstitusi.
Salah Urus atau Pengkhianatan?
Rangkaian fakta ini memunculkan pertanyaan mendasar: apakah Sri Mulyani sekadar melakukan salah urus, atau memang sedang mengorbankan prinsip konstitusi demi menutup lubang APBN? Yang jelas, kebijakan yang diambil tanpa konsistensi dan tanpa keberpihakan ini telah memicu gejolak sosial, menciptakan ketidakpastian ekonomi di daerah, dan melemahkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah.
Dalam negara demokratis, konstitusi seharusnya menjadi pelindung rakyat, bukan sekadar dokumen hiasan. Dan ketika kebijakan ekonomi justru memperberat beban rakyat, wajar jika publik merasa bahwa konstitusi sedang dikhianati dari dalam.