Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia
Anggota Majelis Tinggi Partai X
Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
beritax.id – Nama Sri Mulyani Indrawati kembali jadi buah bibir. Bukan karena angka-angka fiskal atau strategi ekonomi, melainkan gara-gara sebuah video deepfake yang beredar luas. Dalam video itu, Menkeu terlihat mengucapkan kalimat yang langsung memicu amarah publik: “Guru itu beban negara.” Meski belakangan terbukti palsu, kerusakan sudah terlanjur terjadi. Guru merasa dilecehkan, masyarakat tersinggung, dan publik bertanya-tanya, mengapa banyak orang begitu cepat percaya pada video manipulasi itu?
Jawabannya sederhana: karena kepercayaan publik kepada Sri Mulyani memang sudah rapuh. Selama ini ia dikenal sering melontarkan pernyataan yang dianggap menyesatkan. Kita masih ingat ketika ia menyamakan pajak dengan zakat dan wakaf, pernyataan yang dikritik keras sebagai kesalahan fatal. Bagaimana mungkin kewajiban agama yang suci disamakan dengan kewajiban sipil yang penuh aturan dan kerap memberatkan rakyat? Ucapan itu menimbulkan luka, karena terkesan menghalalkan beban rakyat dengan dalih agama.
Tak berhenti di situ, Sri Mulyani juga pernah membawa empat sifat Nabi Muhammad SAW yaitu siddiq, amanah, tabligh, fathonah, ke dalam wacana pengelolaan APBN. Padahal, dalam praktiknya, APBN jauh dari sifat-sifat itu. Ia bahkan sempat mengaku banyak “setan di APBN”, tetapi publik tidak pernah benar-benar melihat langkah serius untuk menyingkirkan “setan” tersebut. Rangkaian ucapan ini membuat rakyat kian apatis. Ketika kepercayaan runtuh, bahkan hoaks pun bisa terasa masuk akal.
Guru Bukan Beban Negara
Guru jelas bukan beban negara. Mereka adalah tiang peradaban yang menopang masa depan bangsa. Itulah mengapa video deepfake ini langsung memantik amarah. Publik mungkin tahu itu palsu, tapi rasa sakitnya nyata. Sebab nada kebijakan yang sering disampaikan pemerintah selama ini memang kerap memosisikan rakyat kecil sebagai beban, sementara pejabat bicara dengan retorika moral yang hampa.
Di titik inilah muncul yang disebut sebagai karma politik. Ketika seorang pejabat sudah kehilangan kredibilitas, bahkan fitnah pun bisa dipercaya. Sri Mulyani boleh membantah dan menyalahkan teknologi deepfake, tetapi masalah yang lebih mendasar adalah mengapa rakyat begitu mudah yakin. Jawabannya karena rekam jejak ucapannya sendiri. Rakyat sudah terbiasa merasa ditipu oleh retorika, dari pajak hingga APBN, dari zakat hingga “setan”.
Pelajaran yang bisa diambil sederhana. Pejabat publik bisa saja menghadapi kritik keras, bisa juga salah langkah. Tetapi mereka tetap bisa bertahan selama jujur kepada rakyat. Rakyat masih bisa menerima kebijakan pahit kalau tahu alasannya jujur dan hasilnya adil. Yang tidak bisa diterima adalah manipulasi kata-kata yang menjadikan rakyat hanya sebagai objek retorika.
Video “guru itu beban negara” memang palsu. Tetapi kemarahan rakyat adalah nyata. Dan yang lebih berbahaya dari video palsu adalah ketika seorang pejabat kehilangan kredibilitas, sehingga apa pun yang ia ucapkan, entah benar atau salah, akan selalu dianggap sebagai tipu daya.