Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia
Anggota Majelis Tinggi Partai X
Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
beritax.id – Nama Sri Mulyani Indrawati selalu menjadi pusat perhatian dalam wacana ekonomi-politik Indonesia. Ia kerap dipuji di panggung internasional sebagai teknokrat kelas dunia, mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia, dan bendahara negara yang menjaga defisit. Namun di dalam negeri, kritik terhadap dirinya tak pernah padam.
Dua serangan keras bahkan datang dari figur politik dan ekonomi papan atas: Ketua MPR Zulkifli Hasan, yang menyebut Sri Mulyani “sesat”, dan ekonom senior Rizal Ramli, yang menudingnya sebagai “Sales Promotion Girl IMF–Bank Dunia”. Kritik ini bukan sekadar perdebatan teknis, melainkan menyentuh soal orientasi: apakah Sri Mulyani membela kepentingan rakyat, atau justru kepentingan kreditur global?
“Sesat” Versi Ketua MPR
Kritik tajam ini berawal dari pidato Ketua MPR Zulkifli Hasan pada Sidang Tahunan MPR, 16 Agustus 2018. Ia menyoroti besarnya pembayaran pokok utang pemerintah pada 2018 yang mencapai Rp400 triliun, tujuh kali lebih besar dari dana desa dan enam kali lebih besar dari anggaran kesehatan.
Sri Mulyani menanggapi kritik itu dengan menyebut Zul menyesatkan publik. Namun, Zul tak tinggal diam. Dua hari kemudian, ia menyebut balik:
“Yang menyesatkan itu, catat Menteri Keuangan, bukan Ketua MPR.”
Zul menilai aneh jika Sri menuduh kritik MPR sebagai politis. “MPR/DPR itu lembaga politik, wajar bicara politik,” tegasnya. Ia bahkan membawa data lengkap: pernyataan Sri sendiri bahwa utang jatuh tempo 2019 mencapai Rp409 triliun. Menurut Zul, jika rupiah melemah, beban itu otomatis bertambah.
Dengan kata lain, Ketua MPR menilai Sri Mulyani sedang menutupi realitas beratnya beban utang, sambil menuding kritik lembaga politik sebagai “menyesatkan”.
“Sales IMF” ala Rizal Ramli
Tak kalah keras, kritik datang dari Rizal Ramli, Menko Perekonomian era Presiden Gus Dur. Ia berulang kali menyebut Sri Mulyani sebagai “Sales Promotion Girl” (SPG) Bank Dunia dan IMF.
Pada April 2021, Rizal kembali mengingatkan bahaya ketergantungan pada lembaga keuangan internasional. Menurutnya, melibatkan IMF dan Bank Dunia dalam manajemen utang Indonesia adalah kesalahan besar.
“Dasar SPG Bank Dunia/IMF,” kata Rizal, menyindir langsung.
Bagi Rizal, langkah ini bisa membawa Indonesia mengulang sejarah kelam krisis 1998, ketika resep IMF justru memperparah keterpurukan ekonomi nasional. Tuduhan ini menegaskan persepsinya bahwa Sri Mulyani lebih berorientasi pada menjaga kepentingan kreditur global daripada keberpihakan pada rakyat.
Benang Merah Kritik
Kritik Zul dan Rizal mungkin datang dari latar belakang berbeda, satu politisi, satu ekonom. Namun keduanya punya benang merah: Sri Mulyani dianggap gagal menempatkan rakyat sebagai prioritas utama kebijakan fiskal.
- Zul menyoroti proporsi APBN yang timpang: pembayaran utang mengorbankan belanja sosial.
- Rizal menyoroti ketergantungan pada lembaga keuangan global: Indonesia digiring menjadi “nasabah abadi” IMF dan Bank Dunia.
Dalam perspektif publik, pernyataan-pernyataan keras ini menampar citra Sri Mulyani yang selama ini dipromosikan sebagai ikon reformasi fiskal.
Seorang Menteri Keuangan seharusnya bukan hanya bendahara yang pandai mengatur angka. Ia adalah penasihat fiskal utama Presiden yang wajib memberi arah produktif, mengingatkan pemborosan, dan melindungi rakyat dari kebijakan fiskal yang menjerat.
Namun, jika kritik Ketua MPR dan tudingan Rizal Ramli kita tarik bersama, muncul kesan bahwa Sri Mulyani lebih sering berperan sebagai penjaga kepentingan fiskal global ketimbang pelindung hak rakyat.
Maka pertanyaan yang patut diajukan: apakah Sri Mulyani sedang membela rakyat Indonesia, atau sekadar memastikan kepentingan kreditur asing tetap terjamin?