Oleh: Redaksi Radius Opini
beritax.id – Pada akhir Agustus 2025, publik diguncang oleh kabar penjarahan rumah pribadi Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Bintaro, Tangerang Selatan. Dalam unggahan media sosialnya, Sri Mulyani menyebut penjarahan tersebut sebagai tragedi hilangnya rasa aman, kepastian hukum, dan perikemanusiaan di Indonesia. Namun peristiwa ini justru memicu diskursus lebih luas: mungkinkah ini sebuah bentuk “karma sosial”, akumulasi kemarahan rakyat atas kebijakan ekonomi yang dianggap menyengsarakan?
Pernyataan-pernyataan bernada moral dari Sri Mulyani disambut sinis oleh sebagian publik. Sebab, banyak kalangan merasa bahwa ketidakadilan struktural, otoritarianisme fiskal, dan pelanggaran hak rakyat atas perlakuan adil justru dilegitimasi oleh kementerian yang ia pimpin.
Dan dalam konteks sejarah politik-ekonomi Indonesia, nama Sri Mulyani tak bisa dilepaskan dari apa yang disebut sebagai “Mafia Berkeley”. Sebuah jaringan ekonom yang dituduh telah mengintervensi arah pembangunan nasional sejak Orde Baru, dengan semangat pasar bebas ala IMF dan World Bank.
Mafia Berkeley: Sebuah Jaringan Tanpa Wajah Resmi
Istilah Mafia Berkeley pertama kali diperkenalkan oleh Kwik Kian Gie, tokoh senior ekonomi dan mantan menteri perencanaan pembangunan nasional. Dalam tulisannya, Kwik menyebut kelompok ini sebagai “organisasi tanpa bentuk” yang berasal dari para ekonom Indonesia lulusan University of California, Berkeley. Mereka mendapatkan pengaruh besar dalam desain kebijakan ekonomi sejak era Soeharto hingga era reformasi.
Sri Mulyani merupakan salah satu figur kunci dari generasi baru kelompok ini. Kariernya melesat dari LPEM UI ke Bank Dunia, lalu masuk kabinet SBY, dan kini memegang kekuasaan fiskal di era Jokowi dan era Prabowo. Bahkan menurut laporan Tirto dan RMOL, pengaruh kelompok ini begitu kuat hingga mampu meminggirkan arus ekonomi kerakyatan.
Yang menjadi sorotan publik adalah bagaimana semangat neoliberal kelompok ini, yang membawa “reformasi” fiskal dan moneter, seringkali justru memperlebar kesenjangan dan melemahkan posisi rakyat.
Kebijakan Fiskal Otoriter dan Rasa Tidak Adil
Di bawah kepemimpinan Sri Mulyani, sistem perpajakan Indonesia mengalami sentralisasi kekuasaan yang luar biasa. Tercatat lebih dari 6.000 aturan perpajakan yang harus dipahami oleh wajib pajak. Dalam praktiknya, ini menciptakan situasi yang hampir mustahil bagi rakyat untuk memenuhi kewajiban tanpa celah kesalahan.
Lebih parah lagi, Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI) melaporkan adanya “otoritarianisme fiskal” yang ditopang oleh impunitas hukum. Oknum di DJP, hakim pengadilan pajak, hingga lembaga pengawas seperti Inspektorat Jenderal dan Ombudsman RI disebut tidak mampu menindak pelanggaran undang-undang secara serius. Semua ini terjadi di bawah koordinasi Kementerian Keuangan, yang seolah menjadi kekuatan tunggal dalam menentukan nasib fiskal warga negara.
Ketika rakyat menggugat atau mengadukan pelanggaran, mereka justru ditarik ke dalam labirin birokrasi yang tidak transparan. Bahkan PPID Kemenkeu sempat tidak mengakui Indonesia sebagai negara hukum secara eksplisit dalam jawabannya kepada pemohon informasi.
“Hadis Satir” dan Moralitas Pajak
Di tengah tekanan itu, muncullah sindiran keras di masyarakat:
“Bekerjalah keras hingga engkau mampu membayar pajak. Di balik gaji kecilmu, ada hak untuk pejabat.”
Kalimat ini menjadi hadis satir yang mencerminkan betapa rakyat merasa bahwa pajak yang mereka bayar justru dinikmati oleh elite politik dan birokrat, yang tidak dikenai pajak atas gaji besar mereka. Pejabat menikmati tunjangan, fasilitas, bahkan hiburan, sementara rakyat kecil harus berjuang memenuhi kewajiban fiskalnya di bawah ancaman sanksi.
Maka ketika Sri Mulyani bicara soal hilangnya kepastian hukum setelah rumahnya dijarah, rakyat bertanya:
“Bukankah rasa kehilangan itu sudah lebih dulu dirasakan oleh jutaan rakyat kecil dalam sistem yang Anda bangun?”
Cak Nun dan Pesan tentang Karma
Budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) pernah mengingatkan bahwa dalam hukum Tuhan, setiap kebaikan akan dibalas dengan kebaikan, dan kejahatan akan dibalas dengan hukuman. Ia menyebut hal itu sebagai “pasti, absolut, dan mutlak”.
Maka dalam logika spiritual ini, rakyat melihat penjarahan rumah Sri Mulyani bukan semata aksi kriminal, tetapi simbolik dari murka sosial terhadap sistem ekonomi-politik yang selama ini menindas. Meskipun tentu kekerasan fisik tak dapat dibenarkan, namun rasa frustasi rakyat telah menembus batas.
Penutup: Saatnya Mengakhiri Hegemoni Ekonomi OTB
Sri Mulyani bukan sekadar individu. Ia simbol dari sistem dan jaringan yang telah berkuasa terlalu lama tanpa koreksi serius. Maka jika hari ini rumahnya dijarah dan ia meratap soal hukum, ini bukan soal empati semata, ini soal refleksi struktural.
Sudah saatnya kita bertanya:
Apakah sistem fiskal, perpajakan, dan keuangan negara masih melayani rakyat?
Ataukah ia hanya memperkuat kedudukan segelintir elite yang merasa “berilmu”, namun lupa bahwa rakyatlah pemilik kedaulatan?