Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia
Anggota Majelis Tinggi Partai X
Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
beritax.id – Menteri Keuangan Sri Mulyani kembali menjadi sorotan publik usai pernyataannya dalam Sarasehan Nasional Ekonomi Syariah Refleksi Kemerdekaan RI 2025. Dalam forum tersebut, ia menyinggung pentingnya mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) secara jujur dan transparan. Sri Mulyani memperingatkan, jika anggaran sebesar Rp3.800 triliun tidak dikelola dengan amanah, maka itu adalah bentuk kezaliman.
Ia juga menegaskan bahwa pengelolaan ekonomi tanpa transparansi akan melahirkan banyak “setan” di dalam sistem. “Mengelola ekonomi tanpa transparansi, pasti di situ banyak setan, banyak banget setan,” ucapnya.
Pernyataan ini memantik tafsir beragam. Sebagian menganggapnya sebagai peringatan moral, namun sebagian lain melihatnya justru sebagai pengakuan tidak langsung bahwa sistem yang ia pimpin sarat dengan masalah.
Setan: Produk dari Sistem yang Rusak
Cak Nun, budayawan dan cendekiawan Muslim, memberikan pandangan yang lebih filosofis tentang makna “setan” yang kerap disebut pejabat. Menurutnya, setan bukanlah entitas yang muncul begitu saja, melainkan produk dari malfungsi moral dan manajemen manusia. “Malfungsi peralatan jiwa manusia akan melahirkan setan. Mal-manajemen, mal-akhlak, ketidakjujuran, ketidaktepatan, ketidakbaikan. Walhasil, setan adalah produk kita sendiri,” ujar Cak Nun.
Dalam kerangka itu, setan yang dimaksud Sri Mulyani sesungguhnya lahir dari perilaku manusia, termasuk para pengelola negara, yang menciptakan sistem ekonomi dan birokrasi yang membuka ruang besar bagi penyimpangan. Dan ironisnya, sistem itu adalah hasil kebijakan yang ia sendiri rancang dan jalankan.
Sumber Setan di Keuangan Negara: Kompleksitas Sistem yang Disengaja
Salah satu contoh nyata adalah sistem perpajakan Indonesia yang terkenal rumit, penuh pasal dan regulasi berlapis, hingga sulit diakses oleh orang awam. Ketidakjelasan ini menjadi lahan subur bagi “setan” yang dimaksud, oknum aparat, celah korupsi, dan pungutan yang tidak berdasar.
Alih-alih membangun sistem yang sederhana, transparan, dan ramah wajib pajak seperti prinsip zakat dalam Islam, Kementerian Keuangan justru mempertahankan kompleksitas aturan yang mempersulit publik. Situasi ini bukan hanya melemahkan kepatuhan pajak, tetapi juga memperbesar peluang penyalahgunaan wewenang di lapangan.
Jika mengikuti logika Cak Nun, setan di keuangan negara tidak lain adalah hasil langsung dari mal-manajemen yang terjadi di pusat kekuasaan fiskal. Dan di pucuknya, ada Menteri Keuangan sebagai penentu arah kebijakan.
Refleksi yang Harusnya Dimulai dari Cermin
Pernyataan Sri Mulyani tentang “banyak setan” seharusnya diiringi kesadaran bahwa dirinya memegang kendali atas sistem tersebut. Mengingat jabatan dan kewenangannya, tanggung jawab moral dan politik atas segala “setan” di APBN ada di pundaknya.
Jika sistem keuangan negara penuh lubang, rumit, dan rawan disalahgunakan, maka pembenahan harus dimulai dari perancangnya. Transparansi tidak cukup hanya diucapkan di podium, ia harus diwujudkan dalam kebijakan yang nyata, tegas, dan membongkar kompleksitas yang menjadi sarang penyimpangan.
Dengan kata lain, sebelum menunjuk “setan” di luar sana, pejabat sekelas Menteri Keuangan perlu bercermin. Karena bisa jadi setan terbesar justru lahir dari sistem yang ia bangun sendiri.