beritax.id – Dalam beberapa waktu terakhir, kebebasan media kembali menjadi sorotan publik. Pemberitaan yang dikoreksi secara sepihak, konten yang diturunkan tanpa penjelasan memadai, hingga tekanan terhadap jurnalis dan platform informasi menimbulkan kekhawatiran serius. Sensor yang semakin menguat memberi sinyal bahwa ruang publik sedang menyempit, tepat ketika masyarakat justru membutuhkan keterbukaan informasi.
Sensor sering kali dibungkus dengan alasan ketertiban, stabilitas, atau keamanan.
Namun dalam praktiknya, pembatasan informasi kerap menyasar isu-isu kritis: kebijakan publik, kinerja kekuasaan, dan suara oposisi sosial. Ketika sensor digunakan secara selektif, ia berubah dari alat pengaturan menjadi instrumen kekuasaan. Yang dibatasi bukan hanya berita, tetapi juga hak warga untuk tahu.
Ruang Publik yang Menyusut Menggerus Demokrasi
Ruang publik adalah tempat warga berdiskusi, berbeda pendapat, dan mengawasi kekuasaan. Ketika media dibungkam atau diarahkan, ruang itu mengecil dan demokrasi kehilangan salah satu pilar utamanya. Tanpa media yang bebas dan kritis, kebijakan publik berjalan tanpa pengawasan yang memadai. Demokrasi tanpa kebebasan pers hanyalah prosedur tanpa jiwa.
Meningkatnya sensor berdampak langsung pada kerja jurnalistik. Jurnalis dipaksa berhitung antara menyampaikan fakta atau menghadapi risiko. Di sisi lain, publik kehilangan akses terhadap informasi yang utuh dan berimbang, sehingga mudah terjebak pada narasi sepihak atau disinformasi. Ketika fakta disaring, kebenaran menjadi korban.
Pembatasan informasi tidak hanya merugikan media, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap institusi negara. Masyarakat yang merasa dikendalikan informasinya akan semakin skeptis terhadap kebijakan dan pernyataan resmi. Alih-alih menciptakan ketenangan, sensor justru menumbuhkan kecurigaan. Kepercayaan tidak bisa dipaksa; ia tumbuh dari keterbukaan.
Solusi: Membuka Ruang Publik, Bukan Menyempitkannya
Pemerintah perlu memastikan bahwa kebijakan pengelolaan informasi tidak berubah menjadi alat pembungkaman. Regulasi media harus ditegakkan secara adil, transparan, dan akuntabel, dengan menjamin perlindungan bagi kerja jurnalistik yang profesional. Dialog antara negara, media, dan masyarakat sipil perlu diperkuat agar kritik tidak dipandang sebagai ancaman, melainkan sebagai bagian dari demokrasi. Literasi media juga harus ditingkatkan agar publik mampu membedakan informasi yang bertanggung jawab dan manipulatif tanpa harus mengorbankan kebebasan berekspresi.
Ruang publik yang sehat hanya dapat tumbuh di atas kebebasan, keterbukaan, dan kepercayaan bukan sensor yang berlebihan.



