Penulis : Yudizaman
Latar Belakang
PT Ayani Family Group (PT. AFG), perusahaan yang berdiri di Banda Aceh, sedang bersengketa dengan Direktur Jenderal Pajak (DJP). Masalah ini muncul karena DJP menilai bahwa PT. AFG melakukan kesalahan dalam laporan pajaknya, terutama terkait kepemilikan Hotel Ayani, biaya penyusutan, biaya bunga pinjaman, dan biaya lainnya.
PT. AFG diwakili oleh tim kuasa hukum dari Rey & Co Jakarta Tax & Legal Services. Mereka menyampaikan bantahan terhadap penjelasan tertulis dari pihak DJP yang dikirim pada tanggal 15 Mei 2025.
1. Masalah Kepemilikan Gedung Hotel Ayani
DJP berpendapat bahwa gedung Hotel Ayani senilai Rp40 miliar bukan milik PT. AFG, melainkan milik CV Hotel Wisata (milik seorang bernama Elvyani).
Namun, PT. AFG membantah hal itu dengan beberapa bukti:
- Hotel Ayani dibangun mulai 2016 dan beroperasi tahun 2018.
- Nilai bangunan tersebut berasal dari utang Rp32 miliar dari Bank BRI dan utang lain sebesar Rp7,6 miliar, yang semuanya dicatat dalam laporan keuangan PT. AFG.
- Ada perjanjian resmi antara PT. AFG dan CV Hotel Wisata yang memperbolehkan PT. AFG membangun hotel di atas tanah milik Elvyani karena saat itu PT. AFG belum “bankable” (belum bisa mengajukan pinjaman langsung ke bank).
- Semua laporan keuangan dan SPT pajak tahun 2018 sudah mencatat bangunan hotel itu sebagai aset tetap milik PT. AFG.
Kesimpulannya, PT. AFG menegaskan bahwa Hotel Ayani memang milik mereka, bukan milik CV Hotel Wisata.
2. Masalah Biaya Penyusutan dan Pendapatan
Karena Hotel Ayani diakui sebagai aset milik PT. AFG, maka perusahaan juga mencatat biaya penyusutan dan pendapatan hotel di tahun 2018 sebesar Rp9,7 miliar.
PT. AFG menilai DJP tidak adil karena di satu sisi DJP mengakui pendapatan hotel, tetapi disisi lain tidak mengakui aset bangunan hotelnya. Menurut PT. AFG, kalau DJP menolak kepemilikan hotel, maka pendapatan hotel juga seharusnya dibatalkan — artinya pajak yang ditagihkan menjadi nihil (tidak ada).
3. Masalah Biaya Bunga
DJP juga menolak pengakuan biaya bunga pinjaman bank yang dibayar oleh PT. AFG karena dianggap PT. AFG bukan debitur (peminjam resmi) dari Bank BRI.
PT. AFG membantah hal ini dengan menjelaskan bahwa:
- Kredit dari Bank BRI memang atas nama CV Hotel Wisata, tapi digunakan sepenuhnya untuk membangun Hotel Ayani milik PT. AFG.
- PT. AFG ikut menandatangani perjanjian kredit, dan bertanggung jawab membayar bunga pinjaman sesuai kesepakatan.
- Bank BRI bahkan telah memberikan surat keterangan bahwa kredit tersebut diberikan kepada CV Hotel Wisata (PT Ayani Family Group) karena PT. AFG belum memenuhi syarat menjadi debitur langsung, karena pada saat itu Hotel Ayani belum berdiri dan belum bisa dijadikan sebagai debitur secara langsung.
- Namun kemudian, pada Akta Perjanjian Kredit Nomor 52 Tahun 2018, PT. AFG telah secara jelas tertulis sebagai debitur.
Dengan begitu, PT. AFG berhak mengakui biaya bunga pinjaman tersebut sebagai pengeluaran yang sah.
4. Biaya Lainnya (PB1)
PT. AFG juga menolak koreksi DJP terhadap biaya Pajak PB1 (Pajak atas Jasa Hotel dan Restoran). Menurut PT. AFG, perhitungan pajak daerah itu sudah benar dan sesuai dengan peraturan pemerintah daerah.
Awalnya PT. AFG menolak koreksi DJP, tetapi akhirnya menerima koreksi tersebut secara sukarela agar tidak menghambat hubungan baik dengan petugas pajak dan demi mendukung penerimaan negara.
5. Tuduhan Dividen Terselubung
DJP menuduh ada “dividen terselubung” atau pembagian keuntungan kepada pemegang saham secara tidak resmi.
PT. AFG membantah tuduhan ini. Mereka menjelaskan bahwa:
- Uang sebesar Rp3,35 miliar yang ditransfer kepada CV Hotel Wisata bukan dividen, melainkan dana untuk membiayai pembangunan Hotel Ayani.
- Semua transaksi tersebut tercatat jelas dalam rekening bank dan bukti transfer.
- DJP tidak pernah meminta keterangan langsung dari para pihak untuk memastikan tuduhan dividen tersebut, padahal hal itu diwajibkan oleh Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang KUP.
QUOTE
Pasal 35 ayat (1)
“Apabila dalam menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperlukan keterangan atau bukti dari bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, dan/atau pihak ketiga lainnya, yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang dilakukan pemeriksaan pajak, penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, atas permintaan tertulis dari Direktur Jenderal Pajak, pihak-pihak tersebut wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta.”
Kesimpulan
Dalam bantahannya, PT AFG menyatakan bahwa:
- Seluruh koreksi dan tuduhan DJP tidak berdasarkan bukti kuat.
- Pemeriksaan pajak yang dilakukan DJP cacat prosedur dan tidak memenuhi asas “due process of law” (proses hukum yang adil).
- Oleh karena itu, PT. AFG meminta majelis hakim untuk menolak seluruh dalil DJP dan menerima permohonan banding PT. AFG sepenuhnya.
Inti dari Kasus Ini
Sederhananya, sengketa ini terjadi karena DJP menilai Hotel Ayani bukan milik PT. AFG, sedangkan PT. AFG punya banyak bukti bahwa hotel itu memang milik mereka. Selain itu, perbedaan pandangan soal bagaimana menghitung biaya dan pajak ikut memperkeruh masalah. Kini, keputusan akhir ada di tangan Pengadilan Pajak yang akan menilai siapa yang benar berdasarkan bukti dan hukum yang berlaku.