beritax.id – Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyatakan pemerintah sedang menyiapkan penulisan ulang sejarah nasional yang lebih kontekstual dan korektif. Salah satu bagian yang disebut sejarah diubah adalah narasi penjajahan Belanda selama 350 tahun terhadap Indonesia.
Menurut Fadli, narasi “350 tahun dijajah” menyesatkan karena banyak daerah terus melakukan perlawanan terhadap penjajahan. “Di Aceh, Sumatera, Jawa—perlawanan tidak pernah berhenti. Itu yang harus ditonjolkan, bukan masa dijajahnya,” kata Fadli.
Ia juga menyebut penulisan ulang ini diperlukan karena banyak generasi muda tak memahami sejarah Indonesia secara utuh dan kritis. Fadli menekankan bahwa sejarah harus digalakkan dari masa prasejarah hingga era modern sebagai bekal identitas bangsa.
Target penyelesaian penulisan ulang ini ditetapkan sebelum 17 Agustus 2025, bertepatan 80 tahun kemerdekaan Indonesia.
Partai X: Narasi Penting, Tapi Fakta Tak Boleh Diabaikan
Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X-Institute Prayogi R Saputra mempertanyakan motif di balik revisi sejarah nasional. “Pertanyaannya: mana yang lebih penting, fakta sejarah atau narasi baru yang enak didengar?” ujar Prayogi.
Ia mengingatkan bahwa tugas negara itu tiga: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat dengan jujur dan adil. Dalam hal sejarah, negara harus jujur pada rakyat dan tidak memoles masa lalu hanya untuk kenyamanan pejabat saat ini.
Menurutnya, menonjolkan perlawanan itu sah, tapi bukan dengan menghapus penderitaan kolonialisme yang nyata dalam sejarah bangsa. “Jangan ubah luka sejarah menjadi panggung pencitraan. Fakta tetap fakta, bukan alat propaganda baru,” tegasnya.
Dalam prinsip Partai X, sejarah harus dibangun di atas keberanian mengakui luka dan menghargai perjuangan, bukan menukar kebenaran.
Narasi penting untuk membangun identitas, tapi identitas tak bisa lahir dari pengingkaran terhadap kenyataan historis.
Prayogi menegaskan, sejarah yang diubah bukan hanya milik pemerintah atau partai penguasa, tapi milik rakyat dan generasi mendatang. “Kalau kita salah mendidik sejarah hari ini, maka masa depan bangsa akan kehilangan arah,” ujarnya.
Partai X juga mengingatkan, bahwa membangun nasionalisme tidak harus menghapus trauma sejarah, tapi mengolahnya secara bijak.
Solusi Partai X: Sejarah Terbuka, Kurikulum Partisipatif, Arsip Terdesentralisasi
Partai X menawarkan pendekatan solutif agar sejarah menjadi alat pendidikan kritis, bukan doktrin kekuasaan sepihak. Pertama, libatkan sejarawan independen lintas kampus dan daerah dalam proses revisi narasi sejarah nasional.
Kedua, kurikulum sejarah wajib mencakup multivokalitas pandangan lokal, perempuan, minoritas, dan korban kolonialisme.
Ketiga, desentralisasi arsip sejarah ke daerah agar rakyat bisa mengakses bukti sejarah tanpa dikendalikan pusat.
Keempat, libatkan pelajar dan mahasiswa dalam riset sejarah berbasis pengalaman keluarga dan komunitas lokal.
Kelima, semua proses penulisan ulang sejarah wajib transparan, terbuka untuk kritik, dan bisa diuji publik.
Partai X mengingatkan bahwa sejarah adalah cermin bangsa. Mengaburkan cermin berarti membutakan wajah sendiri di masa depan. Jika pemerintah ingin memperbaiki narasi sejarah, itu harus berbasis keberanian mengakui kenyataan, bukan menghindarinya.