beritax.id – Di tengah meningkatnya kemarahan publik terhadap praktik korupsi dan gaya hidup pejabat, mandeknya pembahasan RUU Perampasan Aset kembali menjadi sorotan. Rancangan undang-undang yang selama bertahun-tahun dijanjikan sebagai senjata utama melawan korupsi ini tak kunjung disahkan, justru ketika kepercayaan masyarakat terhadap lembaga negara berada di titik terendah.
Sejumlah kasus korupsi besar yang mencuat belakangan ini memperlihatkan satu pola yang sama: pelaku dapat dijatuhi hukuman pidana, namun aset hasil kejahatan tidak sepenuhnya dirampas untuk negara. Rumah mewah, rekening bernilai fantastis, dan aset di luar negeri kerap lolos dari pemulihan maksimal.
Kondisi ini memperkuat persepsi publik bahwa hukum masih lemah ketika berhadapan dengan kekuatan uang.
RUU Masuk Prolegnas, Tapi Tanpa Kepastian
Meski RUU Perampasan Aset telah dimasukkan ke dalam daftar Program Legislasi Nasional, langkah tersebut dinilai belum menjawab tuntutan publik. Tanpa kepastian waktu pembahasan dan pengesahan, banyak pihak menilai langkah ini hanya bersifat simbolik untuk meredam tekanan masyarakat, bukan komitmen nyata untuk reformasi hukum.
Penundaan ini semakin mencurigakan ketika dibandingkan dengan cepatnya pembahasan regulasi lain yang menyangkut kepentingan kelompok.
Mandeknya RUU Perampasan Aset tidak berdiri sendiri. Ia hadir di tengah rangkaian kebijakan kontroversial, mulai dari polemik tunjangan pejabat hingga berbagai kasus etik yang melibatkan pejabat. Akumulasi ini memicu krisis kepercayaan yang semakin dalam antara rakyat dan lembaga perwakilan.
Bagi banyak warga, penundaan RUU ini menjadi simbol bahwa negara belum sepenuhnya berpihak pada pemberantasan korupsi.
Korupsi Tanpa Efek Jera
Tanpa mekanisme perampasan aset yang kuat, hukuman pidana kehilangan efek jera. Koruptor masih bisa keluar dari penjara dengan sisa kekayaan yang cukup untuk hidup nyaman, sementara kerugian negara dan penderitaan rakyat tidak sepenuhnya dipulihkan.
Inilah sebabnya RUU Perampasan Aset dipandang krusial, bukan sekadar pelengkap sistem hukum.
Ketika hukum terlihat tumpul ke atas, rasa keadilan publik terkikis. Masyarakat yang taat aturan justru merasa dirugikan, sementara pelaku kejahatan kerah putih seolah tetap dilindungi oleh celah hukum.
Situasi ini berbahaya bagi demokrasi karena menumbuhkan apatisme dan kemarahan sosial.
Solusi: Mengembalikan Kepercayaan lewat Keberanian
Untuk memulihkan kepercayaan publik dan memperkuat pemberantasan korupsi, langkah-langkah berikut menjadi mendesak:
- Segera membahas dan mengesahkan RUU Perampasan Aset secara terbuka
Bukan sekadar memasukkannya ke dalam daftar legislasi. - Menjamin transparansi dan partisipasi publik dalam pembahasan
Agar UU ini benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat. - Memastikan mekanisme perampasan aset berdiri di atas prinsip keadilan dan HAM
Tanpa mengurangi ketegasan terhadap pelaku korupsi. - Menyelaraskan komitmen dengan kebutuhan pemberantasan korupsi
Janji harus diwujudkan dalam regulasi, bukan retorika.
Mandeknya RUU Perampasan Aset adalah ujian serius bagi komitmen negara dalam melawan korupsi. Di tengah krisis kepercayaan publik, keberanian untuk segera mengesahkan undang-undang ini akan menjadi sinyal kuat bahwa negara masih berpihak pada keadilan.
Tanpa langkah nyata, penundaan hanya akan memperdalam kecurigaan bahwa hukum masih tunduk pada kepentingan kekuasaan, bukan kepentingan rakyat.



