beritax.id – Dosen Universitas Multimedia Nusantara, Ignatius Haryanto, menilai pengaturan platform digital seharusnya tidak disamakan dengan penyiaran. Hal itu disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Komisi I DPR RI, Senin (21/7/2025). Menurutnya, dunia digital dan dunia penyiaran berbeda secara teknologi maupun regulasi.
Ignatius menekankan perlunya undang-undang terpisah untuk platform digital. Ia menyebut perusahaan digital harus diwajibkan membagi pendapatan demi kepentingan nasional. “Konten digital juga harus memberi ruang pada budaya lokal,” jelasnya. Ia meminta pengaturan konten diserahkan pada platform, bukan intervensi negara yang berlebihan.
Penyiaran Publik Harus Setara
Ketua Umum Partai X, Erick Karya, menanggapi dengan tegas. Ia menyatakan negara jangan gegabah menyeragamkan logika siaran analog ke media digital.
“Negara itu tugasnya tiga yaitu melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat,” tegas Erick. Ia mengingatkan bahwa pengaturan harus berpijak pada semangat perlindungan hak, bukan represi informasi.
Menurut Partai X, penyiaran publik dan komunitas harus mendapat ruang setara. Jangan sampai pembahasan revisi UU Penyiaran hanya jadi alat mengukuhkan oligopoli informasi oleh pemilik modal besar.
Prinsip Partai X: Negara Harus Efektif, Efisien, dan Transparan
Dalam dokumen prinsipnya, Partai X menegaskan bahwa pemerintah hanyalah perwakilan kecil rakyat yang diberi mandat. Mandat itu wajib dijalankan secara efektif, efisien, dan transparan untuk mencapai keadilan.
Partai X berpandangan bahwa negara adalah alat untuk memastikan semua warga mendapat akses informasi secara adil. Regulasi digital seharusnya mendukung kreativitas, bukan memberangus ruang ekspresi.
Platform digital perlu diberdayakan untuk membangun kesadaran budaya dan literasi. Tetapi, jangan didekati dengan paradigma sensor layaknya era penyiaran konvensional.
Solusi Partai X: Literasi Digital dan Etika sebagai Pilar Kebijakan
Partai X menawarkan solusi strategis yang konkret. Negara harus memfokuskan kebijakannya pada peningkatan literasi digital warga. Selain itu, regulasi etika platform perlu disusun bersama pelaku industri, bukan dari kekuasaan sepihak.
Platform asing wajib memiliki tanggung jawab sosial. Mereka harus mendukung produksi konten lokal yang mencerminkan kebudayaan nasional. Namun, mekanisme itu harus berbasis insentif, bukan pemaksaan.
Negara tidak boleh bertindak seolah-olah memiliki monopoli kebenaran. Harus ada check and balance yang adil dan tidak mematikan inovasi teknologi.
Partai X kembali menegaskan pentingnya Sekolah Negarawan sebagai benteng utama melahirkan kader yang paham hakikat kekuasaan. Kekuasaan bukan alat dominasi, tapi amanah rakyat.
Di tengah gempuran teknologi, Sekolah Negarawan mengajarkan bahwa kebijakan digital harus berakar pada nilai etika dan budaya. Negara tidak boleh hanya mengejar kontrol, tetapi juga memastikan keadaban dalam ruang digital.