beritax.id – Wacana Revisi Undang-Undang Penyiaran kembali memicu kegelisahan publik. Sejumlah pasal dinilai berpotensi membatasi kerja jurnalistik, khususnya liputan investigatif, dengan dalih menjaga stabilitas dan ketertiban. Alih-alih memperkuat kualitas informasi publik, revisi ini justru memunculkan kekhawatiran: apakah stabilitas sedang diprioritaskan dengan mengorbankan kebenaran?
Dalam draf revisi UU Penyiaran yang dibahas DPR, muncul ketentuan yang dinilai dapat mengekang konten jurnalistik tertentu, termasuk pembatasan siaran investigasi dan penguatan kontrol lembaga negara atas isi siaran. Gelombang kritik pun datang dari jurnalis, akademisi, hingga masyarakat sipil yang menilai aturan ini membuka jalan bagi sensor terselubung.
Kekhawatiran publik bukan tanpa alasan. Dalam beberapa tahun terakhir, liputan investigatif justru berperan penting membongkar kasus korupsi, pelanggaran HAM, dan kejahatan lingkungan.
Investigasi Dipersempit, Pengawasan Publik Melemah
Jika kerja investigasi dibatasi, yang melemah bukan hanya media, tetapi fungsi pengawasan publik terhadap kekuasaan. Media bukan sekadar penyampai informasi, melainkan alat kontrol demokrasi. Ketika ruang ini dipersempit, kesalahan kebijakan dan penyalahgunaan wewenang lebih mudah tersembunyi. Stabilitas yang dibangun tanpa transparansi hanya akan melahirkan ketenangan semu.
Revisi UU Penyiaran ini dinilai sejalan dengan kecenderungan yang lebih luas: regulasi digunakan untuk mengendalikan narasi publik. Kritik dibungkus sebagai ancaman, sementara pembatasan disebut sebagai penataan. Pola ini berisiko menjadikan hukum sebagai alat kekuasaan, bukan pelindung hak warga. Dalam konteks ini, kebebasan pers berada di persimpangan jalan.
Tanggapan Rinto Setiyawan: Negara Jangan Takut Transparansi
Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan, menegaskan bahwa pembatasan liputan investigatif adalah langkah mundur bagi demokrasi.
“Tugas negara itu tiga: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Melindungi berarti melindungi hak publik atas informasi, melayani berarti membuka diri pada kritik, dan mengatur bukan berarti membungkam kebenaran,” tegas Rinto.
Ia menambahkan bahwa stabilitas sejati lahir dari kepercayaan, bukan dari pembatasan informasi.
Jika revisi ini dipaksakan tanpa koreksi, Indonesia berisiko melahirkan demokrasi prosedural tanpa pengawasan substantif. Media akan berhitung sebelum menyelidiki, jurnalis bekerja dalam bayang-bayang sanksi, dan publik kehilangan akses pada informasi penting. Dalam jangka panjang, kondisi ini justru memperbesar potensi penyalahgunaan kekuasaan.
Solusi: Atur dengan Adil, Jangan Bungkam
Untuk menjaga demokrasi dan kebebasan pers, langkah-langkah berikut perlu segera dilakukan:
- Hapus pasal-pasal yang membatasi liputan investigatif
Investigasi adalah kepentingan publik, bukan ancaman negara. - Libatkan komunitas pers dan masyarakat sipil dalam pembahasan UU
Agar regulasi lahir dari kebutuhan demokrasi, bukan ketakutan kekuasaan. - Tegaskan perlindungan hukum bagi jurnalis dan media
Supaya kerja jurnalistik bebas dari intimidasi. - Perkuat mekanisme etik pers, bukan sensor negara
Pengawasan harus independen, bukan politis. - Pastikan UU Penyiaran memperluas akses informasi publik
Bukan mempersempit ruang kritik dan transparansi.
Revisi UU Penyiaran seharusnya memperkuat kualitas demokrasi, bukan membungkam investigasi yang dibutuhkan publik. Negara yang percaya diri tidak takut pada liputan kritis, karena kebenaran adalah fondasi stabilitas yang sesungguhnya.
Jika investigasi dilarang demi stabilitas, maka yang hilang bukan hanya berita—tetapi hak rakyat untuk tahu.



